MAKALAH “SUMBER HUKUM ISLAM KE 2 AL - HADIST”
KATA
PENGANTAR
Dengan memanjatkan puji
syukur kepada Allah SWT penulis dapat menyelesaikan tugas pembuatan makalah
yang berjudul “Sumber Hukum Islam ke 2 Al - Hadist” dengan lancar.
Dalam pembuatan makalah
ini, penulis mendapat bantuan dari berbagai pihak, maka pada kesempatan ini
penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Guru Bidang Studi
dan tak lupa kedua orang tua serta teman-teman
yang telah memberikan bantuan materil maupun do’anya, sehingga pembuatan
makalah ini dapat terselesaikan. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan
satu persatu yang membantu pembuatan makalah ini.
Akhir kata semoga
makalah ini bisa bermanfaat bagi pembaca pada umumnya dan penulis pada
khususnya, penulis menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini masih jauh dari
sempurna untuk itu penulis menerima saran dan kritik yang bersifat membangun
demi perbaikan kearah kesempurnaan. Akhir kata penulis sampaikan terimakasih.
Nanga Pinoh,
Agustus 2017
Penyusun
DAFTAR
ISI
Kata
Pengantar.................................................................................................... i
Daftar
Isi............................................................................................................. ii
BAB
I PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang ....................................................................................... 1
B. Rumusan
Masalah .................................................................................. 1
C. Tujuan
.................................................................................................... 1
BAB
II PEMBAHASAN
A. Kedudukan
Hadist Sebagai Sumber Hukum ......................................... 2
B. Hubungan
Al – Hadist dengan Al – Qur’an .......................................... 6
C. Hadist
dalam menentukan Hukum ........................................................ 7
D. Nabi
Muhammad sebagai Sandaran Hadist ........................................... 8
BAB
III PENUTUP
A. Kesimpulan
............................................................................................. 12
B. Saran
....................................................................................................... 12
DAFTAR
PUSTAKA ....................................................................................... 13
BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Sunnah
adalah sumber hukum Islam (pedoman hidup kaum Muslimin) yang kedua setelah
Al-Qur’an. Bagi mereka yang telah beriman terhadap Al-Qur’an sebagai sumber
hukum Islam, maka secara otomatis harus percaya bahwa Sunnah juga merupakan
sumber hukum Islam. Bagi mereka yang menolak kebenaran Sunnah sebagai sumber
hukum Islam, bukan saja memperoleh dosa, tetapi juga murtad hukumnya. Ayat-ayat
Al-Qur’an sendiri telah cukup menjadi alasan yang pasti tentang kebenaran
Al-Hadits. Namun, kita juga perlu mengetahui sejauh mana kedudukan hadist
sebagai sumber hukum.
B.
RUMUSAN MASALAH
1.
Bagaimanakah
kedudukan hadist sebagai sumber hukum?
2.
Apakah
semua perbuatan yang dilakukan oleh rasul dapat dijadikan sebagai sumber hukum?
3.
Sebutkan
contoh perbuatan yang haram bagi Rasul namun sunah bagi umatnya?
C.
TUJUAN
Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui :
1. Kedudukan Hadist sebagai sumber
hukum
2. Mengetahui hubungan hadist dengan Al
– Qur’an.
3. Dasar hadits sebagai salah satu
sumber hukum.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
KEDUDUKAN HADIST SEBAGAI SUMBER
HUKUM
Sunnah
adalah sumber hukum Islam (pedoman hidup kaum Muslimin) yang kedua setelah
Al-Qur’an. Bagi mereka yang telah beriman terhadap Al-Qur’an sebagai sumber
hukum Islam, maka secara otomatis harus percaya bahwa Sunnah juga merupakan
sumber hukum Islam. Bagi mereka yang menolak kebenaran Sunnah sebagai sumber
hukum Islam, bukan saja memperoleh dosa, tetapi juga murtad hukumnya. Ayat-ayat
Al-Qur’an sendiri telah cukup menjadi alasan yang pasti tentang kebenaran
Al-Hadits, ini sebagai sumber hukum Islam.
Untuk
mengetahui sejauh mana kedudukan hadist sebagai sumber hukum Islam, dapat
dilihat dalam beberapa dalil seperti dibawah ini :
1.
Al
– Qur’an
Banyak
ayat Al – Qur’an yang menerangkan memparcayai dan menerima segala sesuatu yang
disampaikan oleh Rasulullah SAW. Kepada umatnya untuk dijadikan pedoman hidup.
Diantaranya adalah : Ali Imran yang artinya “Allah sekali-kali tidak akan
membiarkan orang-orang mukmin seperti keadaan kamu sekarang ini, sehingga Dia
memisahkan yang buruk (munafik) dari yang baik (mukmin). Dan Allah sekali-kali
tidak akan memperlihatkan kepada kamu hal-hal yang gaib, akan tetapi, Allah
akan memilih siapa yang dikehendaki-Nya diantara Rasul-Rasulnya. Karena itu,
berimanlah kepada Allah dan Rasul-Rasul-Nya dan jika kamu beriman dan bertaqwa,
maka bagimu pahala yang besar.”
Dalam
surat An-Nisa ayat 136 Allah SWT. Berfirman, yang artinya sebagai berikut
“Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya
dan kepada kitab yang allah turunkan kepada Rasul-Nya, serta Kitab yang Allah
turunkan sebelumnya. Bagi siapa yang kafir kepada Allah, Malaikat-Malaikat-Nya,
Rasul-Rasulnya, dan hari kemudian, maka sesungguhnya orang itu telah sesat
sejauh-jauhnya”.
Dalam
surat Ali Imran diatas, Allah memisahkan antara orang-orang mukmin dengan
orang-orang yang munafik. Dia juga akan memperbaiki keadaan orang-orang mukmin
dan memperkuat iman mereka. Oleh karena itu, orang mukmin dituntut agar tetap
beriman kepada Allah SWT. Dan Rasul-Nya.
Pada surat
An-Nisa ayat 136, sebagaimana halnya pada surat Ali Imran ayat 179, Allah
menyeru kaum muslimin agar beriman kepada Allah, Rasul-Nya (Muhammad SAW),
Alqur’an, dan kitab yang diturunkan sebelumnya. Kemudian pada akhir ayat, Allah
SWT. Mengancam orang-orang yang mengingkari seruan-Nya.
Selain
memerintahkan umatr Islam agar percaya kepada Rasulullah SAW, Allah juga
menyerukan agar umat-Nya menaati segala bentuk perundang-undangan dan peraturan
yang dibawanya, baik berupa perintah maupun larangan, Tuntutan taat dan patuh
kepada Rasulullah SAW.
2. Dalil Al-Hadist
Dalam
salah satu pesan Rasulullah SAW. Berkenaan dengan kewajiban menjadikan hadist
sebagai pedoman hidup di samping Al- Qur’an sebagai pedoman utamanya, adalah
dalam sabdanya :
“Aku tinggalkan dua pusaka untukmu sekalian,
dan kalian tidak akan tersesat selama-lamanya, selama kalian selalu berpegang
teguh kepada keduanya, yaitu kitab Allah dan Sunah Rasul-Nya.” (H.R Hakim)
Hadist
tersebut diatas, menunjukan kepada kita bahwa berpegang teguh kepada hadist
atau menjadikan hadist, sebagai pegangan dan pedoman hidup adalah wajib,
sebagaimana wajibnya berpegang teguh kepada Al-Qur’an.
3. Kesepakatan Ulama (Ijma’)
Umat Islam
telah sepakat menjadikan Hadist sebagai salah satu dasar hukum dalam amal
perbuatan karena sesuai dengan yang dikehendakinya oleh Allah. Penerimaan
hadist sama seperti penerimaan mereka terhadap Al-Qur’an, karena keduanya
sama-sama merupakan sumber hukum Islam.
Kesepakatan
umat muslimin dalam mempercayai, menerima, dan mengamalkan segala ketentuan
yang terkandung didalam hadist telah dilakukan sejak masa Rasulullah,
sepeninggal beliau, masa Khulafaur Ar-Rasyidin hingga masa-masa selanjutnya dan
tidak ada yang mengingkarinya. Banyak di antara mereka yang tidak hanya
memahami dan mengamalkan isi kandunganya, tetapi menyebarluaskanya kepada
generasi-generasi selanjutnya.
Banyak
peristiwa menunjukan adanya kesepakatan menggunakan hadist sebagai sumber hukum
Islam, antara lain dalam peristiwa dibawah ini:
a.
Ketika
Abu Bakar menjadi Khalifah, ia pernah berkata, “Saya tidak meninggalkan
sedikitpun sesuatu yang diamalkan oleh Rasulullah, sesungguhnya saya takut
tersesat bila meninggalkan perintahnya”.
b.
Saat
Umar berada di depan Hajar Aswad ia berkata, Saya tahu bahwa engkau adalah
batu. Seandainya saya tidak melihat Rasulullah menciumu, saya tidak akan
menciumu.”
c.
Pernah
ditanyakan kepada Abdullah bin Umar tentang ketentuan shalat safar dalam
Al-Qur’an. Ibnu Umar menjawab, “Allah SWT. Telah mengutus Nabi Muhammad SAW.
Kepada kita dan kita tidak mengetahui sesuatu. Maka sesungguhnya kami berbuat
sebagaimana kami melihat Rasulullah berbuat. “
d.
Diceritakan
dari Sa’id bin Musayab bahwa Usman bin Affan berkata “Saya duduk sebagaimana
duduknya Rasulullah SAW. Saya makan sebagaimana Shalatnya Rasulullah SAW.”
Masih
banyak lagi contoh-contoh yang menunjukan bahwa apa yang diperintahkan,
dilakukan, dan diserukan oleh Rasulullah SAW. Selalu diikuti oleh Umatnya dan
apa yang dilarang selalu ditinggalkan oleh mereka.
4. Sesuai Dengan Petunjuk Akal
(Ijtihad)
Kerasulan
Nabi Muhammad SAW telah diakui dan dibenarkan oleh umat Islam. Didalam
mengemban misinya itu kadangkala beliau menyampaikan apa yang diterimanya dari
Allah SWT, baik isi maupun formulasinya dan kadangkala atas inisiatif sendiri
dengan bimbingan wahyu dari Tuhan. Namun juga, tidak jarang beliau menawarkan
hasil Ijtihad semata-mata mengenai suatu masalah yang tidak dibimbing oleh
wahyu. Hasil ijtihad beliau ini tetap berlaku sampai ada nash yang menaskahkan.
Bila Kerasulan
Muhammad telah diakui dan dibenarkan, maka sudah selayaknya apabila segala
peraturan dan perundang-undangan serta inisiatif beliau, baik yang beliau
ciptakan atas bimbingan pedoman hidup. Disamping itu, secara logika kepercayaan
kepada Muhammad SAW sebagai Rasul mengharuskan umatnya menaati dan mengamalkan
segala ketentuan yang beliau sampaikan.
Dari
uraian diatas, dapat diketahui bahwa hadist merupakan salah satu sumber hukum
dan sumber ajaran Islam yang menduduki urutan kedua setelah Al-qur’an.
Sedangkan bila dilihat dari segi kehujjahan hadist melahirkan hukum Zhann,
kecuali hadist yang mutawatir.
Alasan
lain mengapa umat Islam berpegang pada hadits karena selain memang di
perintahkan oleh Al-Qur’an, juga untuk memudahkan dalam menentukan (menghukumi)
suatu perkara yang tidak dibicarakan secara rinci atau sama sekali tidak
dibicarakan di dalam Al Qur’an sebagai sumber hukum utama. Apabila Sunnah tidak
berfungsi sebagai sumber hukum, maka kaum Muslimin akan mendapatkan
kesulitan-kesulitan dalam berbagai hal, seperti tata cara shalat, kadar dan
ketentuan zakat, cara haji dan lain sebagainya. Sebab ayat-ayat Al-Qur’an dalam
hal ini tersebut hanya berbicara secara global dan umum, dan yang menjelaskan
secara terperinci justru Sunnah Rasulullah. Selain itu juga akan mendapatkan
kesukaran-kesukaran dalam hal menafsirkan ayat-ayat yang musytarak (multi
makna), muhtamal (mengandung makna alternatif) dan sebagainya yang mau tidak
mau memerlukan Sunnah untuk menjelaskannya. Dan apabila penafsiran-penafsiran
tersebut hanya didasarkan kepada pertimbangan rasio (logika) sudah barang tentu
akan melahirkan tafsiran-tafsiran yang sangat subyektif dan tidak dapat
dipertanggungjawabkan.
B.
HUBUNGAN AL-HADITS DENGAN AL-QUR’AN
Dalam
hubungan dengan Al-Qur’an, maka As-Sunnah berfungsi sebagai penafsir,
pensyarah, dan penjelas daripada ayat-ayat tertentu. Apabila disimpulkan
tentang fungsi As-Sunnah dalam hubungan dengan Al-Qur’an itu adalah sebagai
berikut :
1.
Bayan
Tafsir,
Yaitu
menerangkan ayat-ayat yang sangat umum, mujmal dan musytarak. Seperti hadits :
“Shallu kamaa ro-aitumuni ushalli” (Shalatlah kamu sebagaimana kamu melihatku
shalat) adalah merupakan tafsiran daripada ayat Al-Qur’an yang umum, yaitu :
“Aqimush-shalah” (Kerjakan shalat). Demikian pula hadits: “Khudzu ‘anni
manasikakum” (Ambillah dariku perbuatan hajiku) adalah tafsir dari ayat
Al-Qur’an “Waatimmulhajja” ( Dan sempurnakanlah hajimu ).
2. Bayan Taqrir
Yaitu
As-Sunnah berfungsi untuk memperkokoh dan memperkuat pernyataan Al-Qur’an.
Seperti hadits yang berbunyi: “Shoumu liru’yatihiwafthiru liru’yatihi”
(Berpuasalah karena melihat bulan dan berbukalah karena melihatnya) adalah
memperkokoh ayat Al-Qur’an dalam surat Al-Baqarah : 185.
3. Bayan Taudhih,
Yaitu
menerangkan maksud dan tujuan sesuatu ayat Al-Qur’an, seperti pernyataan Nabi :
“Allah tidak mewajibkan zakat melainkan supaya menjadi baik harta-hartamu yang
sudah dizakati”, adalah taudhih (penjelasan) terhadap ayat Al-Qur’an dalam
surat at-Taubah: 34, yang artinya sebagai berikut : “Dan orang-orang yang
menyimpan mas dan perak kemudian tidak membelanjakannya dijalan Allah maka
gembirakanlah mereka dengan azab yang pedih”. Pada waktu ayat ini turun banyak
para sahabat yang merasa berat untuk melaksanakan perintah ini, maka mereka
bertanya kepada Nabi yang kemudian dijawab dengan hadits tersebut.
C.
HADIST DALAM MENENTUKAN HUKUM
Dalam
pembicaraan hubungan As-Sunnah dengan Al-Qur’an telah disinggung tentang bayan
tasyri’, yaitu hadits adakalanya menentukan suatu peraturan/hukum atas suatu
persoalan yang tidak disinggung sama sekali oleh Al-Qur’an. Walaupun demikian
para Ulama telah berselisih paham terhadap hal ini. Kelompok yang menyetujui
mendasarkan pendapatnya pada ‘ishmah (keterpeliharaan Nabi dari dosa dan
kesalahan, khususnya dalam bidang syariat) apalagi sekian banyak ayat yang
menunjukkan adanya wewenang kemandirian Nabi saw. untuk ditaati. Kelompok yang
menolaknya berpendapat bahwa sumber hukum hanya Allah, Inn al-hukm illa lillah,
sehingga Rasul pun harus merujuk kepada Allah SWT (dalam hal ini Al-Quran),
ketika hendak menetapkan hukum.
Kalau
persoalannya hanya terbatas seperti apa yang dikemukakan di atas, maka jalan
keluarnya mungkin tidak terlalu sulit, apabila fungsi Al-Sunnah terhadap
Al-Quran didefinisikan sebagai bayan murad Allah (penjelasan tentang maksud
Allah) sehingga apakah ia merupakan penjelasan penguat, atau rinci, pembatas
dan bahkan maupun tambahan, kesemuanya bersumber dari Allah SWT.
Sebenarnya
dengan kedudukan Nabi sebagai Rasul pun sudah cukup menjadi jaminan (sesuai
dengan fungsinya sebagai tasyri’) adalah harus menjadi pedoman bagi umatnya,
dan seterusnya. Tetapi mereka yang keberatan, beralasan antara lain: Bahwa
fungsi Sunnah itu tidak lepas dari tabyin atas apa yang dinyatakan Al-Qur’an
sebagaimana penegasan Allah:
“Keterangan-keterangan
(mukjizat) dan kitab-kitab. dan Kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu
menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka”
(An-Nahl: 44)
ÏM»uZÉit7ø9$$Î/ Ìç/9$#ur 3 !$uZø9tRr&ur y7øs9Î) tò2Ïe%!$# tûÎiüt7çFÏ9 Ĩ$¨Z=Ï9 $tB tAÌhçR öNÍkös9Î) öNßg¯=yès9ur crã©3xÿtGt ÇÍÍÈ
Artinya : “Keterangan-keterangan
(mukjizat) dan kitab-kitab. dan Kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu
menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan
supaya mereka memikirkan”.
Maka apa
saja yang diungkap Sunnah sudah ada penjelasannya dalam Al-Qur’an meski secara
umum sekalipun. Sebab Al-Qur’an sendiri menegaskan
$tBur `ÏB 7p/!#y Îû ÇÚöF{$# wur 9ȵ¯»sÛ çÏÜt Ïmøym$oYpg¿2 HwÎ) íNtBé& Nä3ä9$sVøBr& 4 $¨B $uZôÛ§sù Îû É=»tGÅ3ø9$# `ÏB &äóÓx« 4 ¢OèO 4n<Î) öNÍkÍh5u crç|³øtä ÇÌÑÈ
Artinya : “dan Tiadalah
binatang-binatang yang ada di bumi dan burung-burung yang terbang dengan kedua
sayapnya, melainkan umat (juga) seperti kamu. Tiadalah Kami alpakan sesuatupun
dalam Al-Kitab, kemudian kepada Tuhanlah mereka dihimpunkan”
Sebenarnya
kedua pendapat itu tidak mempunyai perbedaan yang pokok. Walaupun titik tolak
berpikirnya berbeda, tetapi kesimpulannya adalah sama. Yang diperdebatkan
keduanya adalah soal adanya hadits yang berdiri sendiri. Apakah betul-betul ada
atau hanya karena menganggap Al-Qur’an tidak membahasnya, padahal sebenarnya
membahas.
Seperti
dalam soal haramnya kawin karena sesusuan, menurut pihak pertama adalah karena
ditetapkan oleh Sunnah yang berdiri sendiri, tetapi ketetapan itu adalah
sebagai tabyin/tafsir daripada ayat Al-Qur’an yang membahasnya secara umum dan
tidak jelas. Mereka sama-sama mengakui tentang adanya sesuatu tersebut tetapi
mereka berbeda pendapat tentang apakah Al-Qur’an pernah menyinggungnya atau
tidak (hanya ditetapkan oleh Sunnah saja)
Dalam
kasus-kasus persoalan lain sebenarnya masih banyak hal-hal yang ditetapkan oleh
Sunnah saja, yang barangkali sangat sulit untuk kita cari ayat Al-Qur’an yang
membahasnya, walaupun secara umum dan global. Oleh karena itulah kita cenderung
untuk berpendapat sama dengan pihak yang pertama.
D.
NABI MUHAMMAD SEBAGAI SANDARAN
HADIST
Pada
dasarnya seorang Nabi punya peran sebagai panutan bagi umatnya. Sehingga
umatnya wajib menjadikan diri seorang Nabi sebagai suri tauladan dalam
hidupnya.
Namun
perlu juga diketahui bahwa tidak semua perbuatan Nabi menjadi ajaran yang wajib
untuk diikuti. Memang betul bahwa para prinsipnya perbuatan Nabi itu harus
dijadikan tuntunan dan panutan dalam kehidupan. Akan tetapi kalau kita sudah
sampai detail masalah, ternyata tetap ada yang menjadi wilayah khushushiyah
beliau. Ada beberapa amal yang boleh dikerjakan oleh Nabi tetapi haram bagi
umatnya. Di sisi lain ada amal yang wajib bagi Nabi tapi bagi umatnya hanya
menjadi Sunnah. Lalu ada juga yang haram dikerjakan oleh Nabi tetapi justru
boleh bagi umatnya. Hal ini bisa kita telaah lebih lanjut dalam beberapa uraian
berikut ini:
1.
Boleh
bagi Nabi, haram bagi umatnya
Ada
beberapa perbuatan hanya boleh dikerjakan oleh Rasulullah SAW, sebagai sebuah
pengecualian. Namun bagi kita sebagai umatnya justru haram hukumnya bila
dikerjakan. Contohnya antara lain:
a.
Berpuasa
Wishal
Puasa
wishal adalah puasa yang tidak berbuka saat Maghrib, hingga puasa itu
bersambung terus sampai esok harinya. Nabi Muhammad SAW berpuasa wishal dan
hukumnya boleh bagi beliau, sementara umatnya justru haram bila melakukannya.
b.
Boleh
beristri lebih dari empat wanita
Contoh
lainnya adalah masalah kebolehan poligami lebih dari 4 isteri dalam waktu yang
bersamaan. Kebolehan ini hanya berlaku bagi Rasulullah SAW seorang, sedangkan
umatnya justru diharamkan bila melakukannya.
2.
Yang
wajib bagi Nabi, Sunnah bagi ummatnya
Sedangkan
dari sisi kewajiban, ada beberapa amal yang hukumnya wajib dikerjakan oleh
Rasulullah SAW, namun hukumnya hanya Sunnah bagi umatnya.
a.
Shalat
Dhuha’
Shalat
dhuha’ yang hukumnya Sunnah bagi kita, namun bagi Nabi hukumnya wajib.
b.
Qiyamullail
Demikian
juga dengan shalat malam (qiyamullaih) dan dua rakaat fajar. Hukumnya Sunnah
bagi kita tapi wajib bagi Rasulullah SAW.
c.
Bersiwak
Selain
itu juga ada kewajiban bagi beliau untuk bersiwak, padahal bagi umatnya
hukumnya hanya Sunnah saja.
d.
Bermusyawarah
Hukumnya
wajib bagi Nabi SAW namun Sunnah bagi umatnya
e.
Menyembelih
kurban (udhhiyah)
Hukumnya
wajib bagi Nabi SAW namun Sunnah bagi umatnya.
3. Yang haram bagi Nabi tapi boleh bagi
ummatnya
a.
Menerima
harta zakat
Semiskin
apapun seorang Nabi, namun beliau diharamkan menerima harta zakat. Demikian
juga hal yang sama berlaku bagi keluarga beliau (ahlul bait).
b.
Makan
makanan yang berbau
Segala
jenis makanan yang berbau kurang sedang hukumnya haram bagi beliau, seperti
bawang dan sejenisnya. Hal itu karena menyebabkan tidak mau datangnya malakat
kepadanya untuk membawa wahyu.
Sedangkan
bagi umatnya, hukumnya halal, setidaknya hukumnya makruh. Maka jengkol, petai
dan makanan sejenisnya, masih halal dan tidak berdosa bila dimakan oleh umat
Muhammad SAW.
c.
Haram
menikahi wanita ahlulkitab
Karena
isteri Nabi berarti umahat muslim, ibunda orang-orang muslim. Kalau isteri Nabi
beragam nasrani atau yahudi, maka bagaimana mungkin bisa terjadi.
Sedangkan
bagi umatnya dihalalkan menikahi wanita ahli kitab, sebagaimana telah
dihalalkan oleh Allah SWT di dalam Al-Quran surat Al-Maidah ayat 3.
Selain
hal-hal yang diuraikan di atas, perbuatan-perbuatan Nabi Muhammad sebelum
kerasulan bukan merupakan sumber hukum dan tidak wajib diikuti. Walaupun oleh
sejarah dicatat bahwa perbuatan dan perkataan Nabi selalu terpuji dan benar,
sehingga beliau mendapatkan gelar Al-Amin. Akan tetapi kehiupannya waktu itu
bisa dijadikan sebagai suatu contoh yang sangat baik bagi kehidupan setiap
setiap muslim. Sebagaimana bolehnya kita mengambil contoh atas
perbuatan-perbuatan yang baik walaupun dari orang luar Islam sekalipun.
Semua
contoh di atas merupakan hasil istimbath hukum para ulama dengan cara memeriksa
semua dalil baik yang ada di dalam Al-Quran maupun yang ada di dalam Sunnah
Nabi SAW.
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
1.
Secara
bahasa, hadits dapat berarti baru, dekat dan khabar (cerita). Sedangkan menurut
istilah, hadits berarti segala perkataan, perbuatan dan taqrir atau persetujuan
yang disandarkan pada Nabi Muhammad SAW (aqwal, af’al wa taqrir).
2.
Peran
dan kedudukan Hadits adalah sebagai tabyin atau penjelas dari Al-Qur’an dan
juga menjadi sumber hukum sekunder/kedua_setelah Al-Qur’an.
3.
Dalam
hubungannya dengan Al-Qur’an, As-Sunnah memiliki beberapa fungsi seperti; bayan
tafsir yang menerangkan ayat-ayat yang sangat umum, mujmal dan musytarak; Bayan
Taqrir, berfungsi untuk memperkokoh dan memperkuat pernyataan Al-Qur’an, dan;
Bayan Taudhih, yaitu menerangkan maksud dan tujuan sesuatu ayat Al-Qur’an.
4.
Dalam
beberapa kasus, As-Sunnah dapat saja berdiri sendiri dalam menentukan hukum,
hal ini didasarkan pada keterpeliharaan Nabi dari dosa dan kesalahan, khususnya
dalam bidang syariat. Dan hal ini terbatas pada suatu perkara yang Al-Qur’an
tidak menyinggungnya sama sekali, atau sulit ditemui dalil-dalilnya dalam
Al-Qur’an.
5.
Tidak
semua perbuatan Nabi Muhammad merupakan sumber hukum yang harus diikuti oleh
umatnya, seperti perbuatan dan perkataannya pada masa sebelum kerasulannya.
B.
SARAN
Diharapkan
kepada para pembaca agar secara benar-benar dapat mengetahui kedudukan hadist
sebagai salah satu sumber hukum Islam.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an
Faridl,
Miftah, (2001), As-Sunnah Sumber Hukum Islam Yang Kedua, Bandung: Pustaka
Hasbi
Ash-Shiddieqy, Prof. T.M., (1965), Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, Jakarta:
Bulan Bintang
Quraish,
M. Syihab, (1996), Membumikan Al-Qur’an, Bandung: Mizan
Komentar
Posting Komentar