MAKALAH “QIYAS”





KATA PENGANTAR

Dengan memanjatkan puji syukur kepada Allah SWT penulis dapat menyelesaikan tugas pembuatan makalah yang berjudul Qiyas” dengan lancar.
Dalam pembuatan makalah ini, penulis mendapat bantuan dari berbagai pihak, maka pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Guru Bidang Studi dan tak lupa  kedua orang tua serta teman-teman yang telah memberikan bantuan materil maupun do’anya, sehingga pembuatan makalah ini dapat terselesaikan. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang membantu pembuatan makalah ini.
Akhir kata semoga makalah ini bisa bermanfaat bagi pembaca pada umumnya dan penulis pada khususnya, penulis menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini masih jauh dari sempurna untuk itu penulis menerima saran dan kritik yang bersifat membangun demi perbaikan kearah kesempurnaan. Akhir kata penulis sampaikan terimakasih.


Nanga Pinoh,  Agustus 2017


Penyusun











DAFTAR ISI

Kata Pengantar.....................................................................................................        i
Daftar Isi..............................................................................................................        ii

BAB I PENDAHULUAN
A.     Latar Belakang ........................................................................................        1
B.     Rumusan Masalah ....................................................................................        1
C.     Tujuan .....................................................................................................        2

BAB II PEMBAHASAN
A.     Definisi Qiyas  ..........................................................................................        3
B.     Dalil Kehujjahan Qiyas  ............................................................................        5
C.     Unsur atau Rukun Qiyas  ..........................................................................        9
D.     Cara Untuk Mengetahui Illat (Masalik Al-‘illat) .........................................        12
E.      ‘Illat Hukum dan Hikmah Hukum .............................................................        14

BAB III PENUTUP
A.     Kesimpulan ..............................................................................................        19
B.     Saran .......................................................................................................        19

DAFTAR PUSTAKA .........................................................................................        20


BAB I
PENDAHULUAN

A.       LATAR BELAKANG
Dinamika hukum Islam dibentuk oleh adanya interaksi antara wahyu dan rasio. Itulah yang berkembang menjadi ijtihad; upaya ilmiah menggali dan menemukan hukum bagi hal-hal yang tidak ditetapkan hukumnya secara tersurat (manshus) dalam syariah (al-kitab wa sunnah). Dengan demikian, sumber hukum Islam terdiri atas: al-Qur'an, Sunnah, Ijma' dan akal. Selain dari sumber hukum primer tersebut, dikenal juga adanya sumber-sumber sekunder (al-mashadir al-tab'iyyah), yaitu: syariah terdahulu (syar' man qablana). Pendapat sahabat Nabi (qaul al-shahabi), kebiasaan/adat-istiadat (al'urf), Istihsan, Istishlah dan Istishhab.
Seiring perkembangan masa, semakin banyak problem yang kita dapatkan dalam proses interaksi manusia. Kita ketahui bahwa al- qur’an dan hadist merupakan sumber hukum yang masih universal penjelasannya. Sehingga dibutuhkan ijtihad para mujtahid. Tidak bisa dipungkiri bahwa amalan para mujtahid masih sangat diperlukan dalam menginstinbathkan hukum syara. Sebab ada hal-hal tertentu dalam hukum syara` yang memang masih butuh penjelasan lebih lanjut. Biasanya yang menjadi objek dari qiyas ini adalah hal-hal yang berhubungan dengan cabang bukan pokok dari suatu perkara hukum syara`.
Biasanya untuk hal yang pokok telah dicantumkan hukumnya dalam al-quran maupun al-hadits. Qiyas menjadi sangat penting mengingat makin banyak permasalahan baru dalam dunia islam yang berkaitan dengan syara` seiring dengan perkembangan zaman. Oleh karena itu, pada pembahasan makalah kami ini akan memaparkan sedikit tentang qiyas.

B.       RUMUSAN MASALAH
1.       Apa defenisi Qiyas?
2.       Bagaimana Kehujjahan Qiyas?
3.       Apa saja unsur dan Rukun Qiyas?
4.       Apa saja pembagian Illat?
5.       Bagaimana Cara untuk mengetahui Illat?
6.       Bagaimana Illat hukum dan hikmah hukum?

C.       TUJUAN
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut :
1.      Agar kita mengetahui pengertian Qiyas
2.      Agar kita mengetahui dasar hokum Qiyas dan rukun-rukun Qiyas
3.      Agar kita mengetahui syarat-syarat Qiyas dan kehujjahan Qiyas



























BAB II
PEMBAHASAN

A.       DEFENISI QIYAS
1.     Kejadian ( (واقعةadalah peristiwa, perbuatan, tindakan yng tidak ada hukumnya atau belum jelas hukumnya baik dalam Al-Qur’an maupu  As-Sunnah. Dalam ilmu Ushul Fiqih hal ini disebut “far’un” (فرع).
2.     Suatu peristiwa dapat disebut far’un apabila : adanya kemudian, tidak ada kesamaan illat dengan peristiwa yang akan disamainya. Kejadian yang telah ada ketentuan hukumnya baik didalam A-Qur’an maupun As-Sunnah disebut ashal (اصل) atau disebut disebut juga “maqiis ‘alaih” (مقس عليه) yaitu sesuatu yang akan diqiyaskan kepadanya, atau “masyabbah bih” (مشبه به)   yaitu yang akan diserupakan dengannya.
Proses pengqiyasan dilakukan dengan cara menganalogikan sesuatu yang serupa karena prinsip persamaan‘illat akan melahirkan hukum yang sama. Asas qiyas adalah menghubungkan dua masalah secara analogis berdasarkan persamaan sebab dan sifatnya. Apabila pendekatan tersebut menemukan titik persamaan maka konsekuensi hukumnya harus sama pula dengan hukum yang ditetapkan. A1-Qur’an menjelaskan perbedaan hukum karena tidak adanya persamaan sifat dan perbuatan yaitu firman Allah :
Artinya : Maka apakah mereka tidak mengadakan perjalanan di muka bumi ini sehingga mereka dapat melihat bagaimana kesudahan orang-orang sebelum mereka. Allah telah menimpakan kebinasaan atas mereka dan orang-orang kafir akan menerima akibat-akibat seperti itu.
Yang kedua adalah analogi beda sifat, beda hukum.
÷Pr& |=Å¡ym tûïÏ%©!$# (#qãmuŽtIô_$# ÏN$t«ÍhŠ¡¡9$# br& óOßgn=yèøgªU tûïÏ%©!$%x. (#qãZtB#uä (#qè=ÏJtãur ÏM»ysÎ=»¢Á9$# [ä!#uqy ôMèd$uøt¤C öNåkèE$yJtBur 4 uä!$y $tB šcqßJä3øts ÇËÊÈ  
Artinya : Apakah orang yang membuat kejahatan itu menyangka bahwa kami akan menjadikan mereka seperti orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal sholeh, yaitu sama antara kehidupan dan kematian mereka? Amat buruklah apa yang mereka sangka itu.
Dan Firman Allah yang berbunyi.
ôQr& ã@yèøgwU tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#qè=ÏJtãur ÏM»ysÎ=»¢Á9$# tûïÏÅ¡øÿßJø9$%x. Îû ÇÚöF{$# ôQr& ã@yèøgwU tûüÉ)­GßJø9$# Í$¤fàÿø9$%x. ÇËÑÈ  
Artinya : Patutkah kami menganggap orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal sho!eh samadengan orang-orang yang berbuat kerusakan di muka bumi? Patutkah kami menganggap orang-orang yang bertaqwa sama dengan orang-orang yang berbuat maksiat?
Berikut pengertian Qiyas menurut para ahli:
1.         Al-Ghazali dalam al-Mustahfa "Menanggungkan sesuatu yang diketahui kepada sesuatu yang diketahui dalam hal menetapkan hukum pada keduanya atau meniadakan hukum dari keduanya disebabkan ada hal sama antara keduanya, dalam penetapan hukum atau peniadaan hukum”.
2.         Qadhi Abu Bakar“Menanggung sesuatu yang diketahui kepada sesuatu yang diketahui dalam hal menetapkan hukum pada keduanya atau meniadakan hukum dari keduanya disebabkan ada hal yang sama antara keduanya”.
3.         Ibnu Subki“Menghubungkan sesuatu yang diketahui kepada sesuatu yang sudah diketahui kesamaannya dalam ‘‘illat hukumnya menurut pihak yang menghubungkannya (mujtahid).”
4.         Abu Zahrah “Menghubungkan suatu perkara yang tidak ada nash tentang hukumnya kepada perkara lain yang ada nash hukumnya karena keduanya berserikat dalam ‘‘illat hukum’.”
5.         Ibnu Qudamah “Menanggungkan (menghubungkan) furu’ kepada ashal dalam hukum karena ada hal yang sama (yang menyatukan) antara keduanya.”
6.         Ibnu al-Hummam“Samanya suatu wadah (tempat berlakunya hukum) dengan yang lain dalam ‘illat’ hukumnya. Bagiannya ada artian syar’i yang tidak dapat dipahami dari segi kebiasaan.”
7.         Abu Hasan al-Bashri“Menghasilkan (menetapkan) hukum ashal pada “furu” karena keduanya sama dengan ‘‘illat hukum menurut para mujtahid”.
8.         Al-Human“Qiyas adalah persamaan hukum suatu kasus dengan kasus lainnya karena kesamaan ‘‘illat hukumnya yang tidak dapat diketahui melalui pemahaman bahasa secara murni.”

B.       DALIL KEHUJJAHAN QIYAS
Tidak diragukan lagi bahwa aliran jumhur adalah aliran yang tepat dan paling kuat karena argumentasinya berdasarkan atas prinsip berpikir logis disamping tetap berpegang pada Al-Aqur’an dan petunjuk Rasulullah. Dalil Al-qur’annya adalah sebagai berikut:
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä (#qãèÏÛr& ©!$# (#qãèÏÛr&ur tAqߧ9$# Í<'ré&ur ͐öDF{$# óOä3ZÏB ( bÎ*sù ÷Läêôãt»uZs? Îû &äóÓx« çnrŠãsù n<Î) «!$# ÉAqߧ9$#ur bÎ) ÷LäêYä. tbqãZÏB÷sè? «!$$Î/ ÏQöquø9$#ur ̍ÅzFy$# 4 y7Ï9ºsŒ ׎öyz ß`|¡ômr&ur ¸xƒÍrù's? ÇÎÒÈ  
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman. Taatilah Allah dan Rasul-Nya dan Ulil Amri diantara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah Ia kepada Allah (Al-Qur ‘an) dan rasul (sunnah) jika kamu benar-bear beriman kepada Allah dan hari kemudian.
Ayat tersebut menjadi dasar hukum qiyas. Karena didalamnya terdapat ungkapan “kembali kepada Allah dan Rasulnya” tidak lain dan tidak bukan adalah perintah supaya menyelidiki tanda-tanda bahwa apa sesungguhnya yang dikehendaki Allah dan Rasul-Nya. Hal ini dilakukan dengan jalan mencari illat hukum yang dinamakan qiyas.
Kemudian dalil Al-qur’annya sebagai berikut:
ôs)s9 šc%x. Îû öNÎhÅÁ|Ás% ×ouŽö9Ïã Í<'rT[{ É=»t6ø9F{$# 3 $tB tb%x. $ZVƒÏtn 2uŽtIøÿム`Å6»s9ur t,ƒÏóÁs? Ï%©!$# tû÷üt/ Ïm÷ƒytƒ Ÿ@ÅÁøÿs?ur Èe@à2 &äóÓx« Yèdur ZpuH÷quur 5Qöqs)Ïj9 tbqãZÏB÷sムÇÊÊÊÈ  
Artinya : “Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal. Al Quran itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, akan tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu, dan sebagai petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman.”
Di dalam lafadz ‘itibar di atas ditafsirkan dengan makna Al-itt’azh (mengambil pelajaran). Hal itu tidak lain adalah penetapan terhadap firman Allah dan ciptaan-Nya yaitu bahwa sesuatu yang berlaku bagi contoh, maka ia berlaku pula pada yang menjadi contohnya.
Analoginya adalah seperti ini: Apabila seorang pegawai dijatuhi hukuman karena menerima suap, lalu sang kepala berkata kepada teman-teman sekantor “Sesungguhnya ini adalah suatu pelajaran bagi kamu, maka ambilah sebagai pelajaran”. Maka dapat dipahami dari kata-kata Sang Kepala tersebut kamu akan sepertinya, jika kamu melakukan hal yang sama, kamu akan dihukum sebagaimana hukuman yang menimpanya, dan juga sebuah hadist Rasulullah SAW:
Artinya : “Bahwasannya Rasulullah Saw, ketika hendak mengutus Muadz menuju negeri Yaman, berkata kepadanya : Bagaimanakah kau memberi putusan? Muadz menjawab : “Saya akan memutuskan berdasarkan kitab Allah. Jika saya tidak menemukannya, saya memutuskan berdasarkan Sunnah Rasulullah Saw, kemudian jika saya tidak menemukannya, maka saya akan berijtihad dan saya tidak akan sembrono. Lantas Rasulullah Saw menepuk-nepuk dadanya dan berkata : “Segala puji adalah bagi Allah yang telah memberi taufiq kepada utusan Rasulullah kepada apa yang diridhoi oleh Rasulullah Saw”.
Dari hadist di atas Rasulullah Saw mengakui Muadz untuk berijtihad, bila dia tidak menemukan nash yang dia gunakan untuk memberi putusan baik Al-Qur’an ataupun As-Sunnah. Sedang ijtihad adalah mencurahkan segala kemampuan untuk sampai kepada hukum. Dan Ijtihad juga meliputi qiyas.
Dengan adanya dalil kehujjahan qiyas diatas, dapat kita simpulkan bahwasannya pada saat sekarangpun qiyas masih terjadi.
Para ulama berbeda pendapat tentang kehujjahan qiyas. Ada lima pendapat mengenai hal ini.
1.         Jumhur ulama memandang bahwa qiyas hujjah dan wajib mengamalkannya berdasarkan syar’i.
2.         Pendapat Qaffal dan Abu Husein al-Bashri bahwa akal dan naql menunjukkan kehujjahan qiyas.
3.         Pendapat al-Qasyani, Nahrawani memandang, bahwa qiyas wajib diamalkan dalam dua hal:
a.        Illah ashl ditetapkan oleh nash dengan jelas atau dengan jalan ima’ (الإيماء)
b.        Hukum far’u lebih utama dari hukum ashl. Seperti keharaman memukul orang tua dikiaskan pada keharaman berkata “ah”.
4.         Mazhab Zhahiri mengingkari kehujjahan qiyas berdasarkan syariat, meski secara akal bisa.
5.         Mazhab Syiah dan Nizham dari mu’tazilah memandang bahwa kehujjahan qiyasmustahil secara akal.
Secara garis besar, lima pendapat ini dapat dikelompokkan dalam dua pendapat, yaitu antara menerima kehujjahan qiyas dan kelompok yang menolaknya. Berikut dalil-dalil masing-masing.
1.      Dalil mazhab kehujjahan qiyas
a.        Alquran:
1)        Surat an-Nisa ayat 58. Ayat ini menjelaskan, bila terjadi sengketa maka kembalikan kepada Allah dan RasulNya yaitu alquran dan sunnah. Dan Qiyas, befungsi menggali hukum yang menjadi perselisihan yang tidak ada nashnya dari alquran dan sunnah untuk dikiaskan kepada hukum yang diperselisihkan yang ada nashnya, karena keduanya memiliki illat yang sama yaitu adanya hukum yang diperselisihkan.
2)        Surat Ali Imran ayat 59. Allah menyamakan penciptaan Nabi Isa dan Adam tanpa seorang bapak, keterkaitan sama-sama tidak punya bapak merupakan illahpenyamaan kedua Nabi tersebut.
b.        Sunnah:
Rasulullah mengutus Muaz dan Abu musa ke Yaman sebagai qadhi. Rasulullah bertanya pada mereka. “ بما تقضيان؟ فقالا إذا لم نجد الحكم فى السنة نقيس الأمر بالأمر فما كان أقرب إلى الحق عملنا به. فقال عليه الصلاة والسلام : أصبتما "  
Hadits ini sangat jelas bahwa Rasulullah saw membenarkan qiyas
c.        Ijma’:
Para sahabat ada mengeluarkan pendapat dengan cara qiyas seperti Abu Bakr dan Umar. Pendapat mereka tidak ada yang mengingkari. Maka ini dipandang sebagaiijma’.
d.        Aqliy:
Akal tidak bisa menolak suatu perkara yang serupa dan sama dalam hukum.Pengingkaran terhadap qiyas merupakan pengingkaran terhadap fitrah akal.

2.      Dalil yang menafikah kehujjahan qiyas
a.        Alquran:
 ولا تقف ما ليس لك به علم”. Dalam qiyas, hukum far’u belum diketahui status hukumnya, dan qiyas adalah zhanniy, mengikuti qiyas berarti mengikuti sesuatu yang tidak diketahui.  يأيها اللذين أمنوا لا تقدموا بين يدي الله ورسوله  " ”. Ayat ini melarang beramal dengan selain Alquran dan sunnah. Menggunakan qiyas berarti mendahului Alquran dan sunnah.
b.        Sunnah:
Sabda Rasulullah " تعمل هذه الأمة برهة بالكتاب وبرهة بالسنة وبرهة بالقياس فإذا فعلوا ذالك فقد ضلوا"  Beramal dengan qiyas akan berakibat kepada kesesatan.
c.        Ijma’
Sebagian sahabat mencela penggunakan qiyas. Dan tidak ada pengingkaran hal tersebut. Maka ini menjadi sebuah ijma’.
d.         Aqliy:
Menggunakan qiyas akan menyebabkan perselisihan dan pertikaian. Dan ini dilarang oleh Allah, ولا تنازعوا "  "
Mengenai dalil-dalil diatas terjadi perdebatan hangat dan panjang. Masing-masing pihak membantah dan menjawab balik kritikan yang ada. Diantara ulama yang cukup keras menolak hujjah adalah Ibn Hazm. Dalam bukunya ia menjelaskan argumentasi penolakannya terhadap qiyas.
nahnu insya Allah nanqudu kulla ma ihtajjuu bihi, wa nahtajju lahum bikulli ma yumkinu an ya'taridhuu bihi wa nubayyinu bi haulillah ta'ala wa quwwatihi butlana ta’aluqihim bikulli ma ta’allaquu bihi  fi zalik tsumma nabtadiu bi ‘aunillah azza wajalla bi irad al barahin al wadhihah ad-dharuriyah’ ala ibtal al qiyas.
Dilihat dari argumentasi yang disampaikan Ibn Hazm terhadap qiyas, ada dua hal yang menjadi basis penolakannya:
a.         Bahwa Allah telah menurutkan syariat-syariat-Nya dengan sempurna. Dia telah menentukan hukum-hukum-Nya. Apa yang tidak disebutkan berarti mubah dan halal. Memakai qiyas berarti membuat hukum-hukum baru yang bertentangan dengan syariat. 
b.         Penolakannya Ibn Hazm terhadap qiyas bukan karena kesimpulan hukum tersebut, melainkan cara memperoleh hukum itu yang tidak tepat. Misalnya, firman Allah,  " أن تأكلوا من بيوتكم أو بيوت ءابائكم
Ayat di sini tidak menyebutkan kebolehan makan di rumah anak, lalu dikiaskanlah kepada kebolehan makan dirumah bapak. Metode ini tidak tepat. Bolehnya makan di rumah anak bukan karena penerapan qiyas, tapi karena adanya nash yang membolehkan hal tersebut yaitu, hadits nabi saw,
 “ان أطيب ماأكل أحدكم من كسبه وان ولد أحدكم من كسبه  "

C.       UNSUR ATAU RUKUN QIYAS
1.       Ashl (pokok)
Yaitu suatu peristiwa yang sudah ada nash-nya yang dijadikan tempat menqiyaskan. Ini bedasarkan pengertian ashl menurut fuqaha. Sedangkan ashl menurut hukum teolog adalah suatu nash syara’ yang menunjukkan ketentuan hukum, dengan kata lain, suatu nash yang menjadi dasar hukum. Ashl itu disebut juga maqish alaih (yang dijadikan tempat menqiyaskan), mahmul ‘alaih (tempat membandingkan), atau masyabbah bin (tempat menyerupakan).
Menurut sebagian besar ulama fiqih, sumber hukum yang dipergunakan sebagai dasar qiyas harus berupa nash, baik nash Al-Qur’an atau hadis atau ijma’. Jadi tidak boleh mengqiyaskan sesuatu dengan hukum yang ditetapkan dengan qiyas.
Pembatasan sumber hukum tersebut berdasarkan:
a.         Bahwa nash hukum merupakan sumber dan dasar dari segala hukum. Sedang sumber hukum lain apapun bentuknya bergantung pada nash tersebut. Dengan demikian nash hukum itu harus dijadikan sebagai dasar bagi bangunan qiyas.
b.         Nash hukum dengan berbagai bentuk dan kemungkinan kandungannya mengandung isyarat adanya ‘‘illat. Dengan menggunakan pemahaman isyarat kita dapat menemukan ‘‘illat.
c.         Sesungguhnya qiyas sendiri berpegang dengan Al-Quran dan hadis.
Sebagian besar ulama menetapkan bolehnya mengqiyaskan sesuatu berdasarkan hukum yang ditetapkan dengan ijma’, sebab sandaran ijma’ adalah nash, meskipun tidak selalu tegas menunjukkan hukum.
2.       Al-Hukm
Al-Hukm adalah hukum ketetapan nash, baik AL-Qur’an maupun hadis, atau ketetapan ijma’ (bagi orang yang menganggapnya sebagai sumber hukum asal) yang hendak ditransfer pada kasus-kasus hukum baru karena adanya unsur persamaan.
Penetapan hukum asal pada kasus hukum baru karena adanya unsur persamaan antara keduanya, harus memenuhi beberapa persyaratan antara lain:
a.         Harus berupa hukum syara’ yang amaliah. Qiyas hukum tidak akan terjadi kecuali  pada hukum-hukum yang bersifat amaliah, karena itulah yang menjadi sasaran atau obyek fiqih Islam, karena kerangka luas.
b.         Harus berupa hukum yang rasional (ma’qulul ma’na). Hukum rasional ialah suatu hukum yang apat ditangkap sebab dan alasan penetapannya, atau setidak-tidaknya mengandung isyarat akan sebab-sebab itu.
Sebaliknya hukum yang tidak rasional, tidak mampu ditangkap sebab-sebabnya oleh akal, seperti hukum tayamum dan jumlah rakaat sholat. Oleh sebab itu, di sini tidak berlaku hukum qiyas.
3.       Far’u
Far’u Adalah objek yang akan ditentukan hukumnya, yang tidak ada nash atau ijma’ yang tegas dalam menentukan hukumnya. Al-far’u ialah kasus yang hendak diketahui hukumnya melalui qiyas terhadap hukum asalnya. Al-far’u atau kasus baru itu harus memenuhi dua persyaratan:
a.         Kasus itu belum terdapat nash hukumnya dalam Al-Quran dan Hadis. Sebab, qiyas tidak berlaku pada hukum-hukum yang sudah jelas nashnya. Prinsip qiyas ialah mempertemukan kasus hukm baru yang belum ada nashnya. Oleh sebab itu tidaklah logis menetapkan hukum Qiyas terhadap kasus hukum yang sudah ada nashnya.
b.         ‘illat hukum itu harus benar-benar terwujud dalam kasus baru, sama jelasnya dengan ‘‘illathukum asal. Apabila ‘‘illat dilarangnya meminum minuman khamer itu ‘memabukkan’ maka setiap minuman atau makanan yang memabukkan sama hukumnya dengan khomer, yaitu haram. Sebaliknya apabila makanan atau minuman itu tidak memabukkan, misalnya sekedar membuat orang pusing, baik karena faktor orang yang meminum atau faktor makanan atau minuman yang bersifat sementara selama tidak memabukkan, maka makanan atau minuman tersebut tidak haram, seperti khomer. Alasannya : tidak adanya kesamaan ‘illat. Makanan dan minuman jenis ini memanglah tidak memabukkan, berbeda dengan khomer yang mempunyai sifat yang memabukkan.
4.       ‘Illat
‘Illat adalah pokok yang menjadi landasan qiyas. Imam Fahrul Islam al-Bazdawi telah menegaskan bahwa ‘‘illat merupakan rukun qiyas dan landasan dari bangunan qiyas. Sebagian ulama mendefinisikan ‘illat sebagai suatu sifat lahir yang menetapkan dan sesuai dengan hukum.
Orang yang mengakui adanya ‘illat dalam nash, berarti ia mengakui adanya qiyas. Kami berpendapat, dalam memandang ‘illat, para ulama terbagi menjadi tiga golongan:
a.       Golongan yang pertama (mazhab Hanafiah dan Jumhur) berpendapat bahwa nash-nash hukum pasti memiliki ‘illat. Selanjutnya mereka mengatakan: ”sesungguhnya sumber hukum asal adalah  ‘illat hukum itu sendiri, hingga ada petunjuk (dalil) yang menentukan lain.
b.      Golongan kedu beranggapan sebaliknya, bahwa nash-nash hukum itu tidak ber’illat, kecuali ada dalil yang menentukan adanya ‘illat.
c.       Golongan ketiga ialah ulama yang menentang qiyas (nufatul qiyas) yang menganggap tidak adanya ‘illat hukum.
Lima syarat yang mensyahkan ‘illat manjadi dasar qiyas ialah sebagai berikut:
a.         ‘illat harus berupa sifat yang jelas dan tampak, sehingga ia menjadi sesuatu yang menentukan.
b.         ‘illat harus kuat, tidak terpengaruh oleh perubahan individu, situasi maupun keadaan lingkungan, dengan satu pengertian yang dapat mengakomodasi seluruh perubahan yang terjadi secara definitif.
c.         Harus ada kolerasi (hubungan yang sesuai) antara hukum dengan sifat yang menjadi ‘illat.
d.         Sifat-sifat yang menjadi ‘illat yang kemudian  melahirkan qiyas harus berjangkauan luas (muta’addy), tidak terbatas hanya pada satu hukum tertentu.
e.         Syarat yang terakhir bahwa sifat yang menjadi ‘illat itu tidak dinyatakan batal oleh suatu dalil.

D.      CARA UNTUK MENGETAHUI ILLAT (MASALIK AL-‘ILLAT)
1.         berdasarkan dengan nash sharih (nash yang tegas) Illat yang ditunjukan oleh nash adakalanya jelas (sharih), dan adakalanya dengan isyarat. Illat yang ditunjukan oleh nash itu sendiri dengan memperhatikan kata-kata, seperti
2.         Dengan Ijma. Apabila Ijma itu qath’i dan datangnya kepada kita juga qath’i, dan adanya illat itu dalam cabang juga demikian serta tidak ada dalil yang menentangnya, maka hukumnya qath’i.
3.         Dengan istinbathpenelitian dengan cara ini dapat ditempuh melalui beberapa bentuk:
a.         Al-Munasabah. Yaitu mencari persesuaian antara suatu sifat dengan perintah atau larangan yang membawa kemanfaatan atau menolak kemadharatan bagi manusia.
b.        Al-Sabru wa al-Taqsim. Yaitu dengan cara meneliti dan mencari illat, melalui menghitung-hitung dan memisah-misahkan sifat pada pokok, diambil illat hukumnya dan dipisahkan yang bukan illat hukumnya. Untuk ini tentu diperlukan pemahaman yang mendalam.
c.         Takhrijul Manath (menggali sifat yang menjadi sandaran hukum). Yaitu usaha menemukan sifat yang pantas menjadi ‘illat hukum.  atau mencari dan mengeluarkan illat sampai diketahui, apabila illatnya tidak diketahui baik dengan nash maupun dengan Ijma. Hal ini dilakukan apabila nash hukum tidak menjelaskan ‘illat baik secara ungkapan langsung, isyarat atau tanda dan tidak ada kesepakatan para ulama tentang ‘illat itu. Sebagai contoh menetapkan pembunuhan yang diancam dengan hukuman qishash ialah pembunuhan yang dilakukan dengan alat atau senjata yang biasanya mematikan. Oleh sebab itu, hukumam qishash tetap diberlakukan pada setiap kasus pembunuhan yang menggunakan senjata, baik senjata selalu dipakai maupun sudah tidak pernah dipakai.
d.        Tanqihu Manath (menyeleksi sifat yang menjadi sandaran hukum).. Yaitu mengenali sifat-sifat yang terkandung dalam hukum, lalu memilih salah satu sifat yang paling tepat dan patut dijadikan ‘illat hukum, sementara sifat-sifat yang kurang korelatif dengan hukum disingkirkan. Dengan demikian mujtahid menetapkan satu sifat saja sebagai ‘illat hukum, contoh dari kasus seorang sahabat yang menggauli isterinya pada siang hari Ramadhan yang pernah ditetapkan oleh Rasulullah.
e.         Tahqiqul manath (mengukuhkan sifat yang menjadi sandaran hukum). Yaitu meneliti apakah sifat yang sudah diketahui unsure-unsurnya itu terdapat dalan kasus-kasus yang sesuai dan tercakup dalam keumuman pengertiannya . contoh sifat adil adalah syarat muutlak berhubungan langsung dengan sahnya menjadi saksi, akan tetapi untuk mengetahui adil atau tidaknya seseorang hanya dapat diketahui melalui pembuktian dalam ijtihad.

E.       ILLAT HUKUM DAN HIKMAH HUKUM
Para ulama ushul, baik klasik maupun kontemporer selalu mengaitkan persoalan hukum dengan tujuan penetapannya. Ini disebabkan keyakinan kuat umat Islam bahwa semua ketetapan hukum syara‘ pasti mengandung tujuan mulia. Mustahil suatu ketetapan hukum yang disyari‘atkan Syari‘ tidak mengandung tujuan.
Zaki al-Din Sya‘ban menyebutkan bahwa inti dari maqashid al-syari‘ah itu ialah sesungguhnya Allah Swt tidak mensyari‘atkan hukum-hukum-Nya kecuali untuk tujuan yang sifatnya menyeluruh dan tujuan tersebut adalah untuk mewujudkan dan meraih manfaat (maslahat) bagi umat manusia dan sekaligus menghindarkan mereka dari kerusakan serta membebaskan dunia dari berbagai kejahatan dan dosa. Kemaslahatan di sini adalah menyangkut kemaslahatan yang dihajatkan oleh manusia dalam segala aspek kehidupan mereka.
Untuk memahami maqashid al-syari‘ah dengan menelusuri ayat-ayat al-Qur`an dan al-Hadist Rasulullah bukanlah pekerjaan yang mudah. Para ulama ushul, baik pada masa lalu maupun sekarang telah berupaya untuk menyelami maqashid al-syari‘ah ini lewat ijtihad danistinbath hukum. Hal ini semua tidak lain agar apa yang menjadi tujuan pensyari‘atan hukum dapat direalisir dalam kehidupan umat.
Dalam prakteknya, ada sebagian ulama ushul yang menjadikan hikmah sebagai illathukum. Artinya, jika suatu ketentuan hukum tidak dapat dipahami dengan jelas apa yang melatarbelakangi pensyari‘atannya, maka illat harus dilihat dari segi tujuan penetapan atau pensyari‘atan hukum itu sendiri, yaitu hikmah dan itulah yang menjadi illat-nya. Hal inilah  yang ditegaskan oleh Ibn al-Qayyim, sebagaimana dikutip oleh M. Hasbi Ashshiddiqy seperti berikut ini:
ان الـشـريــعـة مـبنـاهـا وأسـاســهــا عـلى الـحـكـم ومـصالح الـعـبـاد فى الـمـعـاش والـمـعـاد. إن الـلـه كان حـكـيـمـا لا يـفـعـل شيــئا عـبـثـا ولا بـغـيـر مـعـنى ومـصلحـة هـي الـمقـصودة مـن الـفـعـ
Sesungguhnya syari‘at pondasi dan dasar pijakannya adalah hikmah dan kemaslahatan hamba (manusia) dalam kehidupan dunia dan akherat. Sesungguhnya Allah Swt. adalah Hakim yang bijaksana; Dia tidaklah berbuat sesuatu tanpa ada tujuan, dan tanpa mengandung makna dan maslahat...”
Pensyari‘atan suatu hukum yang dilatarbelakangi oleh ‘illat itu pasti mempunyai tujuan, yaitu mewujudkan kemaslahatan bagi umat manusia. Dalam kenyataannya ada hubungan illatdan maqashid al-syari‘ah yang menjadi tujuan pensyari‘atan hukum dapat dipahami secara rasional dan ada pula yang tidak dapat dipahami secara rasional. Karena memang ada persoalan-persoalan tasyrî‘ yang tidak dapat dijangkau oleh nalar manusia ‘illat dan hikmah yang terkandung di dalamnya. Jika dihadapkan dengan hal-hal seperti demikian maka ia termasuk wilayah ta‘abbudi.
Adapun hubungan illat dengan maqashid syari’ah yang dapat dipahami secara rasional ialah bahwa sesuatu yang menjadi ‘illat akan melahirkan nilai yang hendak dicapai dari suatu ketetapan hukum di mana antara keduanya (illat dan nilai yang hendak dicapai) dapat diketahui oleh akal pikiran. Sebagai contohnya adalah berkenaan dengan larangan berbuat zina. Allah berfirman : ”Dan jangan kamu dekati (lakukan) zina, karena sesungguhnya zina itu adalah kotor dan seburuk-buruk jalan.” (QS. Al-Isra:32)
Larangan berbuat zina merupakan ketetapan hukum (haram). Adapun illatnya adalah karena zina perbuatan kotor, keji dan jalan/cara yang tidak baik (fahisyah wa sa`a sabila).Maqashid al-syari‘ah-nya adalah menjaga keturunan dan ini merupakan maslahat dharuriyahyang wajib dipelihara, sebab jika tidak demikian, tentu Allah tidak melarangnya.
Adapun contoh hubungan illat dengan maqashid al-syari‘ah yang tidak dapat dipahami oleh akal atau nalar adalah waktu shalat Zhuhur  setelah tergelincirnya matahari.Dalam ayat disebutkan:
ÉOÏ%r& no4qn=¢Á9$# Ï8qä9à$Î! ħôJ¤±9$# 4n<Î) È,|¡xî È@ø©9$# tb#uäöè%ur ̍ôfxÿø9$# ( ¨bÎ) tb#uäöè% ̍ôfxÿø9$# šc%x. #YŠqåkôtB ÇÐÑÈ  
Artinya : “Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan (dirikanlah pula shalat) subuh[865]. Sesungguhnya shalat subuh itu disaksikan (oleh malaikat)”.  
Karena tergelincir matahari adalah ‘illat, sedang adanya kewajiban shalat Zhuhur adalah hukum yang ditetapkan sebagai akibat dari teregelincirnya matahari. Antara tergelincir matahari dan adanya ketetapan hukum berupa kewajiban shalat Zhuhur (keduanya lebih merupakan hubungan “sebab-akibat” yang sesungguhnya ‘illat-nya disebut dengan sebab). Dalam kasus seperti ini hubungan ‘illat dengan hukum yang ditetapkan tidak dapat dipahami dengan nalar, karena bentuknya hubungan sebab akibat. Dan sudah barang tentu, juga hubungannya dengan maqashid al-syari‘ah tidak dapat dipahami oleh nalar dan akal.
Realitas hukum Islam bersifat dinamis dan berkembang sesuai dengan tuntutan perkembangan waktu dan tempat. Dengan kata lain, perkembangan hukum Islam, di samping tuntutan masyarakat, juga tidak lepas dari peran illat sebagai dasar yang melatarbelakangi tasyri‘ atau pensyari‘atan hukum.
Dalam sejarah perkembangan hukum Islam, sejak awal hingga sekarang, terlihat bahwa illat memegang peranan yang sangat penting dalam pengembangan hukum Islam. Banyak ketentuan Fiqh yang mengalami perubahan dan perkembangan. Perubahan itu dapat dilihat dari dua segi yaitu:
1.         Pemahaman ‘illat  hukum itu sendiri yang berubah sesuai dengan perkembangan pemahaman terhadap dalil nash yang menjadi landasannya. Perubahan pemahaman tentang‘illat ini karena terjadinya perkembangan dan munculnya hal-hal baru dalam kehidupan umat Islam. Sebagai contoh untuk ini, misalnya zakat hasil pertanian yang biasa dipahami sebagai ‘illat-nya adalah makanan pokok yang disebut dengan al-qut, dapat disimpan lama, dapat ditakar atau ditimbang. Akan tetapi, sekarang dipopulerkan pendapat baru bahwa ‘illat tersebut ialah apa yang disebut dengan al-nama` (produktif). Jadi semua tanaman yang produktif wajib dikenakan zakatnya. Sebelumnya zakat hasil pertanian itu hanya dikenakan kepada empat jenis hasil pertanian saja yaitu syair, gandum, anggur dan kurma. Seperti dijelaskan dalam hadits:
“Dan dari Abu Musa al-‘Asy’ari dan Muaz, semoga Allah meridhoi mereka berdua. Sesungguhnya Nabi Saw. berkata kepada mereka berdua, janganlah kamu pungut zakat kecuali terhadap empat jenis  yaitu: syair, gandum, anggur dan kurma. (HR. Thabrani dan al-Hakim)”.
Perubahan dan perkembangan pemahaman ‘illat wajib zakat atas hasil pertanian ini sesungguhnya lebih tepat dan lebih mencakup karena dapat menjangkau berbagai jenis tanaman yang telah disebutkan oleh nash yang keberadaannya lebih produktif, memiliki nilai ekonomis yang tinggi serta dapat mendatangkan kekayaan.
Dalam hubungan ini, Ibrahim Husen menyebutkan bahwa apa saja yang tumbuh di muka bumi dan bermanfaat dalam menopang kehidupan manusia, seperti kelapa, buah pala, merica, lada, cengkeh, kopi, tebu, bunga anggrek, kayu jati dan lain-lain wajib dikenakan zakat. Bagi Ibrahim Husen, penetapan wajib zakat terhadap berbagai jenis tumbuhan di atas adalah bertolak dari penetapan zakat atas empat jenis tumbuhan yang disebutkan dalam hadist di atas, yang ‘illat-nya adalah karena ia bermanfaat dalam menopang kehidupan. Dan ‘illat  ini dapat diterapkan atas semua jenis tanaman atau tumbuhan lainnya. Oleh karena itu, setiap tanaman mengandung manfaat serta dapat menopang kehidupan manusia dapat di-qiyâs-kan kepada empat jenis tanaman yang hukumnya wajib dikeluarkan zakatnya.
Perubahan dan perkembangan pemahaman ‘illat zakat hasil pertanian terhadap empat jenis tanaman yang disebutkan dalam hadist di atas -dari al-qut (makanan pokok) menjadial-nama` (produktif) sebagai dikemukakan oleh Alyasa Abubakar atau bermanfaat seperti diungkapkan oleh Ibrahim Husin adalah didorong oleh keinginan untuk menyesuaikan pemahaman ‘illat dengan perkembangan baru. Sekiranya ‘illat zakat hasil pertanian -bagi empat jenis tanaman yang disebutkan dalam hadist itu- tetap dipahami seperti semula atau tidak diubah, maka ia tidak dapat menjangkau berbagai jenis tanaman lainnya, yang keberadaannya juga tidak kalah pentingnya dalam kaitannya dengan fungsinya untuk menopang kehidupan.
2.         Pemahaman terhadap ‘illat masih tetap seperti sediakala, tetapi maksud tersebut akan tercapai lebih baik sekiranya pemahaman atas hukum yang didasarkan padanya diubah. Contoh lainnya, misalnya Umar tidak memberikan hak muallaf, sebagai salah satu mustahiq zakat, sebagaimana disebutkan dalam surat al-Taubah ayat 60. Umar beranggapan bahwa sifat muallaf tidak berlaku sepanjang hidup, seperti halnya kemiskinan. Pemberian zakat kepada  muallaf  pada awal Islam adalah karena Islam masih lemah.  Di samping itu, golongan muallaf ini imannya masih lemah dan mereka perlu dibujuk  hatinya agar tetap bertahan dengan keislamannya atau agar mereka menahan diri dari melakukan tindakan kejahatan terhadap orang-orang Islam. Dengan kata lain ‘illat  pemberian zakat kepada golongan  muallaf ialah karena Islam dan iman mereka masih lemah.  Menurut Umar, Rasulullah memberikan bagian zakat kepada muallaf adalah untuk memperkuat Islam. Ketika keadaan telah berubah maka memberikan bagian itu tidak valid lagi. Dengan kata lain ketika Islam telah  kuat maka pemberian zakat kepada muallaf itu tidak perlu lagi. Kebijakan Umar menghentikan pemberian zakat kepada muallaf itu sesungguhnya berkaitan dengan perubahan pemahaman Umar tentang muallaf  itu sendiri. Menurut Umar bahwa pemberian zakat kepada muallaf itu pada mulanya iman mereka masih lemah, tetapi sekarang karena kondisi Islam telah  kuat, maka pemberian zakat kepada muallaf tidak dilaksanakan lagi.



















BAB III
PENUTUP

A.       Kesimpulan
1.        Pendapat yang mengatakan bahwa qiyas tidaklah bersandarkan atas nash maupun hadist tidaklah benar. Karena sesuatu yang diqiyaskan melihat kembali pada permasalahan yang diselesaikan melalui nash.
2.        Qiyas sangatlah penting dalam kehidupan sekarang ini, dilihat dari perkembangan permasalahan ummat yang kian berkembang.

B.       Saran
Kami menyadari sepenuhnya bahwa penyusunan makalah ini masih jauh dari sempurna dan tidak menutup kemungkinan adanya kekurangan dan kesalahan di sana- sini. Karena itu, kami mohon kritik dan saran dari pembaca demi kesempurnaan karya-karya selanjutnya.


















DAFTAR PUSTAKA

Al Isnawiy, Nihayah as Suul
Al-Hadiy al-Kirru, Ushul at-Tasyri’
Al-Hafidz, Ahsin W.. Fiqih Kesehatan. Jakarta: Amzah. 2007.
Ashshidieqi, M. Hasbi, Filsafat Hukum Islam. Jakarta: Bulan Bintang. 1975.
Hakim, Syeh Abdul hamid, Mabadiul Awaliyah.
Himayah, Mahmud Ali. Ibn Hazm. ter. Halid Alkaf. Jakarta: Penerbit Lentera, 2001.
Ibn Hazm, al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam. Beirut: Dar al-Afaq al-Jadidah, tth.
Khallaf, Abdul Wahhab. Ilmu Ushul Fiqh. Semarang : Dina Setia.
Zahrah, Muhammad Abu, Ushul Fiqh. Jakarta : Pustaka Firdaus. 2007.

Komentar

Postingan Populer