MAKALAH “QIYAS”
KATA
PENGANTAR
Dengan memanjatkan puji
syukur kepada Allah SWT penulis dapat menyelesaikan tugas pembuatan makalah
yang berjudul “Qiyas” dengan lancar.
Dalam pembuatan makalah
ini, penulis mendapat bantuan dari berbagai pihak, maka pada kesempatan ini
penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Guru Bidang Studi
dan tak lupa kedua orang tua serta teman-teman
yang telah memberikan bantuan materil maupun do’anya, sehingga pembuatan
makalah ini dapat terselesaikan. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan
satu persatu yang membantu pembuatan makalah ini.
Akhir kata semoga
makalah ini bisa bermanfaat bagi pembaca pada umumnya dan penulis pada
khususnya, penulis menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini masih jauh dari
sempurna untuk itu penulis menerima saran dan kritik yang bersifat membangun
demi perbaikan kearah kesempurnaan. Akhir kata penulis sampaikan terimakasih.
Nanga Pinoh,
Agustus 2017
Penyusun
DAFTAR
ISI
Kata
Pengantar..................................................................................................... i
Daftar
Isi.............................................................................................................. ii
BAB
I PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang ........................................................................................ 1
B. Rumusan
Masalah .................................................................................... 1
C. Tujuan
..................................................................................................... 2
BAB
II PEMBAHASAN
A. Definisi
Qiyas .......................................................................................... 3
B. Dalil
Kehujjahan Qiyas ............................................................................ 5
C. Unsur
atau Rukun Qiyas .......................................................................... 9
D. Cara
Untuk Mengetahui Illat (Masalik Al-‘illat) ......................................... 12
E. ‘Illat
Hukum dan Hikmah Hukum ............................................................. 14
BAB
III PENUTUP
A. Kesimpulan
.............................................................................................. 19
B. Saran
....................................................................................................... 19
DAFTAR
PUSTAKA ......................................................................................... 20
BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR
BELAKANG
Dinamika
hukum Islam dibentuk oleh adanya interaksi antara wahyu dan rasio. Itulah yang
berkembang menjadi ijtihad; upaya ilmiah menggali dan menemukan hukum bagi
hal-hal yang tidak ditetapkan hukumnya secara tersurat (manshus) dalam
syariah (al-kitab wa sunnah). Dengan demikian, sumber hukum Islam
terdiri atas: al-Qur'an, Sunnah, Ijma' dan akal. Selain dari sumber hukum
primer tersebut, dikenal juga adanya sumber-sumber sekunder (al-mashadir
al-tab'iyyah), yaitu: syariah terdahulu (syar' man qablana).
Pendapat sahabat Nabi (qaul al-shahabi), kebiasaan/adat-istiadat (al'urf),
Istihsan, Istishlah dan Istishhab.
Seiring
perkembangan masa, semakin banyak problem yang kita dapatkan dalam proses
interaksi manusia. Kita ketahui bahwa al- qur’an dan hadist merupakan sumber
hukum yang masih universal penjelasannya. Sehingga dibutuhkan ijtihad para
mujtahid. Tidak bisa dipungkiri bahwa amalan para mujtahid masih sangat
diperlukan dalam menginstinbathkan hukum syara. Sebab ada hal-hal tertentu dalam
hukum syara` yang memang masih butuh penjelasan lebih lanjut. Biasanya yang
menjadi objek dari qiyas ini adalah hal-hal yang berhubungan dengan cabang
bukan pokok dari suatu perkara hukum syara`.
Biasanya
untuk hal yang pokok telah dicantumkan hukumnya dalam al-quran maupun
al-hadits. Qiyas menjadi sangat penting mengingat makin banyak permasalahan
baru dalam dunia islam yang berkaitan dengan syara` seiring dengan perkembangan
zaman. Oleh karena itu, pada pembahasan makalah kami ini akan memaparkan sedikit
tentang qiyas.
B.
RUMUSAN MASALAH
1. Apa defenisi
Qiyas?
2. Bagaimana
Kehujjahan Qiyas?
3. Apa saja
unsur dan Rukun Qiyas?
4. Apa saja
pembagian Illat?
5. Bagaimana
Cara untuk mengetahui Illat?
6. Bagaimana
Illat hukum dan hikmah hukum?
C.
TUJUAN
Adapun tujuan
dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut :
1.
Agar kita
mengetahui pengertian Qiyas
2.
Agar kita
mengetahui dasar hokum Qiyas dan rukun-rukun Qiyas
3.
Agar kita
mengetahui syarat-syarat Qiyas dan kehujjahan Qiyas
BAB II
PEMBAHASAN
A.
DEFENISI
QIYAS
Qiyas secara
bahasa adalah تقدير الشئ بأخر ليعلم المساوات بينهما Menurut
bahasa, qiyas berarti mengukur, atau menyamakan sesuatu dengan yang lain. Para
ahli Ushul Fiqih merumuskan qiyas dengan : “manyamakan atau mengukur sesuatu
kejadian yang tidak ada nash Al-Qur’an dan Hadist) tentang hukumnya dengan
kejadian yang disebutkan dalam nash karena ada kesamaan antara dua kejadian itu
didalam illat hokum tersebut.” Dari rumusan
diatas dapat dijelaskan beberapa hal :
1.
Kejadian ( (واقعةadalah
peristiwa, perbuatan, tindakan yng tidak ada hukumnya atau belum jelas hukumnya baik dalam Al-Qur’an maupu
As-Sunnah. Dalam ilmu Ushul Fiqih hal ini disebut “far’un” (فرع).
2.
Suatu peristiwa dapat disebut far’un apabila : adanya
kemudian, tidak ada kesamaan illat dengan peristiwa yang akan disamainya.
Kejadian yang telah ada ketentuan hukumnya baik didalam A-Qur’an maupun
As-Sunnah disebut ashal (اصل) atau disebut disebut
juga “maqiis ‘alaih” (مقس عليه) yaitu sesuatu yang
akan diqiyaskan kepadanya, atau “masyabbah bih” (مشبه
به) yaitu yang akan diserupakan dengannya.
Qiyas secara istilah adalah رد
الفرع الى الاصل بعلة تجمعها فى الحكم. Qiyas juga bisa berarti menyamakan
sesuatu yang tidak ada nash hukumnya dengan sesuatu yang ada nash hukumnya
karena ada persamaan illat hukum. Karena dengan qiyas ini berarti
para mujtahid telah mengembalikan ketentuan hukum kepada
sumbernya al-quran dan hadits. Sebab dalam hukum Islam kadang tersurat jelas
dalam al-quran dan hadits, tapi kadang juga bersifat implicit-analogik (tersirat)
yang terkandung dalam nash. Beliau Imam Syafi’i mengatakan “Setiap
peristiwa pasti ada kepastian hukum dan umat Islam wajib melaksanakannya”.
Namun jika tidak ada ketentuan hukum yang pasti, maka haruslah dicari dengan
cara ijtihad. Dan ijtihad itu adalah qiyas.
Proses pengqiyasan dilakukan dengan cara
menganalogikan sesuatu yang serupa karena prinsip persamaan‘illat akan
melahirkan hukum yang sama. Asas qiyas adalah menghubungkan dua masalah secara
analogis berdasarkan persamaan sebab dan sifatnya. Apabila pendekatan tersebut
menemukan titik persamaan maka konsekuensi hukumnya harus sama pula dengan
hukum yang ditetapkan. A1-Qur’an menjelaskan perbedaan hukum karena tidak
adanya persamaan sifat dan perbuatan yaitu firman Allah :
Artinya
: Maka apakah mereka tidak mengadakan perjalanan di muka bumi ini
sehingga mereka dapat melihat bagaimana kesudahan orang-orang sebelum mereka.
Allah telah menimpakan kebinasaan atas mereka dan orang-orang kafir akan
menerima akibat-akibat seperti itu.
Yang kedua adalah analogi beda
sifat, beda hukum.
÷Pr& |=Å¡ym tûïÏ%©!$# (#qãmutIô_$# ÏN$t«Íh¡¡9$# br& óOßgn=yèøgªU tûïÏ%©!$%x. (#qãZtB#uä (#qè=ÏJtãur ÏM»ysÎ=»¢Á9$# [ä!#uqy ôMèd$uøt¤C öNåkèE$yJtBur 4 uä!$y $tB cqßJä3øts ÇËÊÈ
Artinya
: Apakah orang yang membuat kejahatan itu menyangka bahwa kami akan
menjadikan mereka seperti orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal sholeh,
yaitu sama antara kehidupan dan kematian mereka? Amat buruklah apa yang mereka
sangka itu.
Dan Firman Allah yang berbunyi.
ôQr& ã@yèøgwU tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#qè=ÏJtãur ÏM»ysÎ=»¢Á9$# tûïÏÅ¡øÿßJø9$%x. Îû ÇÚöF{$# ôQr& ã@yèøgwU tûüÉ)GßJø9$# Í$¤fàÿø9$%x. ÇËÑÈ
Artinya : Patutkah kami menganggap orang-orang
yang beriman dan mengerjakan amal sho!eh samadengan orang-orang yang berbuat
kerusakan di muka bumi? Patutkah kami menganggap orang-orang yang bertaqwa sama
dengan orang-orang yang berbuat maksiat?
Berikut pengertian Qiyas menurut para ahli:
1.
Al-Ghazali
dalam al-Mustahfa "Menanggungkan sesuatu yang diketahui kepada sesuatu
yang diketahui dalam hal menetapkan hukum pada keduanya atau meniadakan hukum
dari keduanya disebabkan ada hal sama antara keduanya, dalam penetapan hukum
atau peniadaan hukum”.
2.
Qadhi
Abu Bakar“Menanggung sesuatu yang diketahui kepada sesuatu yang diketahui
dalam hal menetapkan hukum pada keduanya atau meniadakan hukum dari keduanya
disebabkan ada hal yang sama antara keduanya”.
3.
Ibnu
Subki“Menghubungkan sesuatu yang diketahui kepada sesuatu yang sudah
diketahui kesamaannya dalam ‘‘illat hukumnya menurut pihak yang
menghubungkannya (mujtahid).”
4.
Abu
Zahrah “Menghubungkan suatu perkara yang tidak ada nash tentang hukumnya
kepada perkara lain yang ada nash hukumnya karena keduanya berserikat dalam
‘‘illat hukum’.”
5.
Ibnu
Qudamah “Menanggungkan (menghubungkan) furu’ kepada ashal dalam hukum karena
ada hal yang sama (yang menyatukan) antara keduanya.”
6.
Ibnu
al-Hummam“Samanya suatu wadah (tempat berlakunya hukum) dengan yang lain
dalam ‘illat’ hukumnya. Bagiannya ada artian syar’i yang tidak dapat
dipahami dari segi kebiasaan.”
7.
Abu
Hasan al-Bashri“Menghasilkan (menetapkan) hukum ashal pada “furu’”
karena keduanya sama dengan ‘‘illat hukum menurut para mujtahid”.
8.
Al-Human“Qiyas
adalah persamaan hukum suatu kasus dengan kasus lainnya karena kesamaan
‘‘illat hukumnya yang tidak dapat diketahui melalui pemahaman bahasa
secara murni.”
B.
DALIL KEHUJJAHAN QIYAS
Tidak diragukan lagi bahwa aliran jumhur adalah aliran
yang tepat dan paling kuat karena argumentasinya berdasarkan atas prinsip
berpikir logis disamping tetap berpegang pada Al-Aqur’an dan petunjuk
Rasulullah. Dalil Al-qur’annya adalah sebagai berikut:
$pkr'¯»t tûïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä (#qãèÏÛr& ©!$# (#qãèÏÛr&ur tAqߧ9$# Í<'ré&ur ÍöDF{$# óOä3ZÏB ( bÎ*sù ÷Läêôãt»uZs? Îû &äóÓx« çnrãsù n<Î) «!$# ÉAqߧ9$#ur bÎ) ÷LäêYä. tbqãZÏB÷sè? «!$$Î/ ÏQöquø9$#ur ÌÅzFy$# 4 y7Ï9ºs ×öyz ß`|¡ômr&ur ¸xÍrù's? ÇÎÒÈ
Artinya
: “Hai orang-orang yang beriman. Taatilah Allah dan Rasul-Nya dan Ulil
Amri diantara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka
kembalikanlah Ia kepada Allah (Al-Qur ‘an) dan rasul (sunnah) jika kamu
benar-bear beriman kepada Allah dan hari kemudian.
Ayat tersebut menjadi dasar hukum qiyas. Karena
didalamnya terdapat ungkapan “kembali kepada Allah dan Rasulnya” tidak
lain dan tidak bukan adalah perintah supaya menyelidiki tanda-tanda bahwa apa
sesungguhnya yang dikehendaki Allah dan Rasul-Nya. Hal ini dilakukan dengan
jalan mencari illat hukum yang dinamakan qiyas.
Kemudian dalil Al-qur’annya sebagai
berikut:
ôs)s9 c%x. Îû öNÎhÅÁ|Ás% ×ouö9Ïã Í<'rT[{ É=»t6ø9F{$# 3 $tB tb%x. $ZVÏtn 2utIøÿã `Å6»s9ur t,ÏóÁs? Ï%©!$# tû÷üt/ Ïm÷yt @ÅÁøÿs?ur Èe@à2 &äóÓx« Yèdur ZpuH÷quur 5Qöqs)Ïj9 tbqãZÏB÷sã ÇÊÊÊÈ
Artinya :
“Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang
yang mempunyai akal. Al Quran itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, akan tetapi
membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu, dan
sebagai petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman.”
Di dalam lafadz ‘itibar di atas
ditafsirkan dengan makna Al-itt’azh (mengambil pelajaran). Hal
itu tidak lain adalah penetapan terhadap firman Allah dan ciptaan-Nya yaitu
bahwa sesuatu yang berlaku bagi contoh, maka ia berlaku pula pada yang menjadi
contohnya.
Analoginya adalah seperti ini: Apabila seorang pegawai
dijatuhi hukuman karena menerima suap, lalu sang kepala berkata kepada
teman-teman sekantor “Sesungguhnya ini adalah suatu pelajaran bagi kamu,
maka ambilah sebagai pelajaran”. Maka dapat dipahami dari kata-kata Sang
Kepala tersebut kamu akan sepertinya, jika kamu melakukan hal yang sama, kamu
akan dihukum sebagaimana hukuman yang menimpanya, dan juga sebuah hadist
Rasulullah SAW:
Artinya : “Bahwasannya Rasulullah Saw, ketika
hendak mengutus Muadz menuju negeri Yaman, berkata kepadanya : Bagaimanakah kau
memberi putusan? Muadz menjawab : “Saya akan memutuskan berdasarkan kitab
Allah. Jika saya tidak menemukannya, saya memutuskan berdasarkan Sunnah
Rasulullah Saw, kemudian jika saya tidak menemukannya, maka saya akan
berijtihad dan saya tidak akan sembrono. Lantas Rasulullah Saw menepuk-nepuk
dadanya dan berkata : “Segala puji adalah bagi Allah yang telah memberi taufiq
kepada utusan Rasulullah kepada apa yang diridhoi oleh Rasulullah Saw”.
Dari hadist di atas Rasulullah Saw mengakui Muadz
untuk berijtihad, bila dia tidak menemukan nash yang
dia gunakan untuk memberi putusan baik Al-Qur’an ataupun As-Sunnah. Sedang
ijtihad adalah mencurahkan segala kemampuan untuk sampai kepada hukum. Dan
Ijtihad juga meliputi qiyas.
Dengan
adanya dalil kehujjahan qiyas diatas, dapat kita simpulkan
bahwasannya pada saat sekarangpun qiyas masih terjadi.
Para ulama berbeda pendapat tentang kehujjahan qiyas. Ada lima
pendapat mengenai hal ini.
1.
Jumhur ulama memandang bahwa qiyas hujjah
dan wajib mengamalkannya berdasarkan syar’i.
2.
Pendapat Qaffal dan Abu Husein al-Bashri bahwa akal
dan naql menunjukkan kehujjahan qiyas.
3.
Pendapat al-Qasyani, Nahrawani memandang, bahwa qiyas wajib
diamalkan dalam dua hal:
a.
Illah ashl ditetapkan
oleh nash dengan jelas atau dengan jalan ima’ (الإيماء)
b.
Hukum far’u lebih utama dari hukum ashl.
Seperti keharaman memukul orang tua dikiaskan pada keharaman berkata “ah”.
4.
Mazhab Zhahiri mengingkari kehujjahan qiyas berdasarkan
syariat, meski secara akal bisa.
5.
Mazhab Syiah dan Nizham dari mu’tazilah memandang
bahwa kehujjahan qiyasmustahil secara akal.
Secara garis besar, lima pendapat ini dapat
dikelompokkan dalam dua pendapat, yaitu antara menerima kehujjahan qiyas dan
kelompok yang menolaknya. Berikut dalil-dalil masing-masing.
1.
Dalil mazhab kehujjahan qiyas
a.
Alquran:
1)
Surat an-Nisa ayat 58. Ayat ini menjelaskan, bila
terjadi sengketa maka kembalikan kepada Allah dan RasulNya yaitu alquran dan
sunnah. Dan Qiyas, befungsi menggali hukum yang menjadi perselisihan yang tidak
ada nashnya dari alquran dan sunnah untuk dikiaskan kepada hukum
yang diperselisihkan yang ada nashnya, karena keduanya
memiliki illat yang sama yaitu adanya hukum yang
diperselisihkan.
2)
Surat Ali Imran ayat 59. Allah menyamakan penciptaan
Nabi Isa dan Adam tanpa seorang bapak, keterkaitan sama-sama tidak punya bapak
merupakan illahpenyamaan kedua Nabi tersebut.
b.
Sunnah:
Rasulullah mengutus Muaz dan Abu musa ke Yaman
sebagai qadhi. Rasulullah bertanya pada mereka. “ بما تقضيان؟ فقالا إذا لم نجد الحكم فى السنة نقيس الأمر
بالأمر فما كان أقرب إلى الحق عملنا به. فقال عليه الصلاة والسلام : أصبتما "
Hadits ini
sangat jelas bahwa Rasulullah saw membenarkan qiyas
c.
Ijma’:
Para sahabat
ada mengeluarkan pendapat dengan cara qiyas seperti Abu Bakr
dan Umar. Pendapat mereka tidak ada yang mengingkari. Maka ini dipandang
sebagaiijma’.
d.
Aqliy:
Akal tidak bisa menolak suatu perkara yang serupa dan
sama dalam hukum.Pengingkaran terhadap qiyas merupakan
pengingkaran terhadap fitrah akal.
2.
Dalil yang menafikah kehujjahan qiyas
a.
Alquran:
“ ولا تقف ما ليس لك به علم”. Dalam qiyas,
hukum far’u belum diketahui status hukumnya, dan qiyas adalah zhanniy,
mengikuti qiyas berarti mengikuti sesuatu yang tidak
diketahui. يأيها اللذين أمنوا لا
تقدموا بين يدي الله ورسوله " ”. Ayat
ini melarang beramal dengan selain Alquran dan sunnah. Menggunakan qiyas berarti
mendahului Alquran dan sunnah.
b.
Sunnah:
Sabda Rasulullah "
تعمل هذه الأمة برهة بالكتاب وبرهة بالسنة وبرهة بالقياس فإذا فعلوا ذالك فقد
ضلوا" Beramal dengan qiyas akan berakibat
kepada kesesatan.
c.
Ijma’
Sebagian sahabat mencela penggunakan qiyas.
Dan tidak ada pengingkaran hal tersebut. Maka ini menjadi sebuah ijma’.
d.
Aqliy:
Menggunakan qiyas akan menyebabkan
perselisihan dan pertikaian. Dan ini dilarang oleh Allah, ولا تنازعوا " "
Mengenai dalil-dalil diatas terjadi perdebatan hangat
dan panjang. Masing-masing pihak membantah dan menjawab balik kritikan yang
ada. Diantara ulama yang cukup keras menolak hujjah adalah Ibn Hazm. Dalam
bukunya ia menjelaskan argumentasi penolakannya terhadap qiyas.
“nahnu insya Allah nanqudu kulla ma ihtajjuu bihi, wa
nahtajju lahum bikulli ma yumkinu an ya'taridhuu bihi wa nubayyinu bi haulillah
ta'ala wa quwwatihi butlana ta’aluqihim bikulli ma ta’allaquu bihi fi
zalik tsumma nabtadiu bi ‘aunillah azza wajalla bi irad al barahin al wadhihah
ad-dharuriyah’ ala ibtal al qiyas.
Dilihat dari argumentasi yang disampaikan Ibn Hazm
terhadap qiyas, ada dua hal yang menjadi basis penolakannya:
a.
Bahwa Allah telah menurutkan syariat-syariat-Nya
dengan sempurna. Dia telah menentukan hukum-hukum-Nya. Apa yang tidak
disebutkan berarti mubah dan halal. Memakai qiyas berarti
membuat hukum-hukum baru yang bertentangan dengan syariat.
b.
Penolakannya Ibn Hazm terhadap qiyas bukan
karena kesimpulan hukum tersebut, melainkan cara memperoleh hukum itu yang
tidak tepat. Misalnya, firman Allah, " أن تأكلوا من بيوتكم أو بيوت ءابائكم
Ayat di sini tidak menyebutkan kebolehan makan di
rumah anak, lalu dikiaskanlah kepada kebolehan makan dirumah bapak. Metode
ini tidak tepat. Bolehnya makan di rumah anak bukan karena penerapan qiyas,
tapi karena adanya nash yang membolehkan hal tersebut yaitu,
hadits nabi saw,
“ان أطيب ماأكل أحدكم من كسبه وان ولد أحدكم من كسبه "
C.
UNSUR ATAU RUKUN QIYAS
1. Ashl (pokok)
Yaitu
suatu peristiwa yang sudah ada nash-nya yang dijadikan tempat menqiyaskan. Ini
bedasarkan pengertian ashl menurut fuqaha. Sedangkan ashl menurut hukum teolog
adalah suatu nash syara’ yang menunjukkan ketentuan hukum, dengan kata lain,
suatu nash yang menjadi dasar hukum. Ashl itu disebut juga maqish alaih (yang
dijadikan tempat menqiyaskan), mahmul ‘alaih (tempat membandingkan), atau
masyabbah bin (tempat menyerupakan).
Menurut
sebagian besar ulama fiqih, sumber hukum yang dipergunakan sebagai dasar qiyas
harus berupa nash, baik nash Al-Qur’an atau hadis atau ijma’. Jadi tidak boleh
mengqiyaskan sesuatu dengan hukum yang ditetapkan dengan qiyas.
Pembatasan sumber hukum tersebut berdasarkan:
a.
Bahwa
nash hukum merupakan sumber dan dasar dari segala hukum. Sedang sumber hukum
lain apapun bentuknya bergantung pada nash tersebut. Dengan demikian nash hukum
itu harus dijadikan sebagai dasar bagi bangunan qiyas.
b.
Nash
hukum dengan berbagai bentuk dan kemungkinan kandungannya mengandung isyarat
adanya ‘‘illat. Dengan menggunakan pemahaman isyarat kita dapat
menemukan ‘‘illat.
c.
Sesungguhnya
qiyas sendiri berpegang dengan Al-Quran dan hadis.
Sebagian
besar ulama menetapkan bolehnya mengqiyaskan sesuatu berdasarkan hukum yang
ditetapkan dengan ijma’, sebab sandaran ijma’ adalah nash, meskipun tidak
selalu tegas menunjukkan hukum.
2. Al-Hukm
Al-Hukm
adalah hukum ketetapan nash, baik AL-Qur’an maupun hadis, atau ketetapan ijma’
(bagi orang yang menganggapnya sebagai sumber hukum asal) yang hendak
ditransfer pada kasus-kasus hukum baru karena adanya unsur persamaan.
Penetapan
hukum asal pada kasus hukum baru karena adanya unsur persamaan antara keduanya,
harus memenuhi beberapa persyaratan antara lain:
a.
Harus
berupa hukum syara’ yang amaliah. Qiyas hukum tidak akan terjadi
kecuali pada hukum-hukum yang bersifat amaliah, karena itulah yang
menjadi sasaran atau obyek fiqih Islam, karena kerangka luas.
b.
Harus
berupa hukum yang rasional (ma’qulul ma’na). Hukum rasional ialah suatu
hukum yang apat ditangkap sebab dan alasan penetapannya, atau setidak-tidaknya
mengandung isyarat akan sebab-sebab itu.
Sebaliknya
hukum yang tidak rasional, tidak mampu ditangkap sebab-sebabnya oleh akal,
seperti hukum tayamum dan jumlah rakaat sholat. Oleh sebab itu, di sini tidak
berlaku hukum qiyas.
3. Far’u
Far’u
Adalah objek yang akan ditentukan hukumnya, yang tidak ada nash atau ijma’ yang
tegas dalam menentukan hukumnya. Al-far’u ialah kasus yang hendak diketahui
hukumnya melalui qiyas terhadap hukum asalnya. Al-far’u atau kasus baru itu
harus memenuhi dua persyaratan:
a.
Kasus
itu belum terdapat nash hukumnya dalam Al-Quran dan Hadis. Sebab, qiyas tidak
berlaku pada hukum-hukum yang sudah jelas nashnya. Prinsip qiyas ialah mempertemukan
kasus hukm baru yang belum ada nashnya. Oleh sebab itu tidaklah logis
menetapkan hukum Qiyas terhadap kasus hukum yang sudah ada nashnya.
b.
‘‘illat hukum
itu harus benar-benar terwujud dalam kasus baru, sama jelasnya dengan ‘‘illathukum
asal. Apabila ‘‘illat dilarangnya meminum minuman khamer itu
‘memabukkan’ maka setiap minuman atau makanan yang memabukkan sama hukumnya
dengan khomer, yaitu haram. Sebaliknya apabila makanan atau minuman itu tidak
memabukkan, misalnya sekedar membuat orang pusing, baik karena faktor orang
yang meminum atau faktor makanan atau minuman yang bersifat sementara selama
tidak memabukkan, maka makanan atau minuman tersebut tidak haram, seperti
khomer. Alasannya : tidak adanya kesamaan ‘illat. Makanan dan
minuman jenis ini memanglah tidak memabukkan, berbeda dengan khomer yang
mempunyai sifat yang memabukkan.
4. ‘Illat
‘Illat adalah
pokok yang menjadi landasan qiyas. Imam Fahrul Islam al-Bazdawi telah
menegaskan bahwa ‘‘illat merupakan rukun qiyas dan landasan dari
bangunan qiyas. Sebagian ulama mendefinisikan ‘illat sebagai
suatu sifat lahir yang menetapkan dan sesuai dengan hukum.
Orang yang
mengakui adanya ‘illat dalam nash, berarti ia mengakui adanya
qiyas. Kami berpendapat, dalam memandang ‘illat, para ulama terbagi
menjadi tiga golongan:
a. Golongan yang pertama (mazhab
Hanafiah dan Jumhur) berpendapat bahwa nash-nash hukum pasti memiliki ‘illat.
Selanjutnya mereka mengatakan: ”sesungguhnya sumber hukum asal
adalah ‘illat hukum itu sendiri, hingga ada petunjuk
(dalil) yang menentukan lain.
b. Golongan kedu beranggapan
sebaliknya, bahwa nash-nash hukum itu tidak ber’illat, kecuali ada dalil
yang menentukan adanya ‘illat.
c. Golongan ketiga ialah ulama yang
menentang qiyas (nufatul qiyas) yang menganggap tidak adanya ‘illat hukum.
Lima syarat yang mensyahkan ‘illat manjadi dasar qiyas ialah
sebagai berikut:
a.
‘illat
harus berupa sifat yang jelas dan tampak, sehingga ia menjadi sesuatu yang
menentukan.
b.
‘illat
harus kuat, tidak terpengaruh oleh perubahan individu, situasi maupun keadaan
lingkungan, dengan satu pengertian yang dapat mengakomodasi seluruh perubahan
yang terjadi secara definitif.
c.
Harus
ada kolerasi (hubungan yang sesuai) antara hukum dengan sifat yang menjadi
‘illat.
d.
Sifat-sifat
yang menjadi ‘illat yang kemudian melahirkan qiyas harus
berjangkauan luas (muta’addy), tidak terbatas hanya pada satu hukum tertentu.
e.
Syarat
yang terakhir bahwa sifat yang menjadi ‘illat itu tidak dinyatakan batal oleh
suatu dalil.
D.
CARA
UNTUK MENGETAHUI ILLAT (MASALIK AL-‘ILLAT)
1.
berdasarkan dengan nash
sharih (nash yang tegas) Illat yang
ditunjukan oleh nash adakalanya jelas (sharih), dan adakalanya dengan
isyarat. Illat yang ditunjukan oleh nash itu sendiri dengan memperhatikan
kata-kata, seperti
2.
Dengan Ijma. Apabila Ijma
itu qath’i dan datangnya kepada kita juga qath’i, dan adanya illat itu dalam
cabang juga demikian serta tidak ada dalil yang menentangnya, maka hukumnya
qath’i.
3.
Dengan istinbath/ penelitian
dengan cara ini dapat ditempuh melalui beberapa bentuk:
a.
Al-Munasabah. Yaitu mencari persesuaian antara
suatu sifat dengan perintah atau larangan yang membawa kemanfaatan atau menolak
kemadharatan bagi manusia.
b.
Al-Sabru wa al-Taqsim. Yaitu
dengan cara meneliti dan mencari illat, melalui
menghitung-hitung dan memisah-misahkan sifat pada pokok, diambil illat hukumnya
dan dipisahkan yang bukan illat hukumnya. Untuk ini tentu diperlukan pemahaman
yang mendalam.
c.
Takhrijul Manath (menggali sifat yang menjadi sandaran
hukum). Yaitu usaha menemukan sifat yang pantas menjadi ‘illat hukum. atau
mencari dan mengeluarkan illat sampai diketahui, apabila illatnya tidak
diketahui baik dengan nash maupun dengan Ijma. Hal ini dilakukan apabila nash
hukum tidak menjelaskan ‘illat baik secara ungkapan langsung, isyarat atau
tanda dan tidak ada kesepakatan para ulama tentang ‘illat itu. Sebagai contoh
menetapkan pembunuhan yang diancam dengan hukuman qishash ialah pembunuhan yang
dilakukan dengan alat atau senjata yang biasanya mematikan. Oleh sebab itu,
hukumam qishash tetap diberlakukan pada setiap kasus pembunuhan yang
menggunakan senjata, baik senjata selalu dipakai maupun sudah tidak pernah
dipakai.
d.
Tanqihu Manath (menyeleksi sifat yang menjadi sandaran
hukum).. Yaitu mengenali sifat-sifat yang terkandung dalam hukum, lalu memilih
salah satu sifat yang paling tepat dan patut dijadikan ‘illat hukum, sementara
sifat-sifat yang kurang korelatif dengan hukum disingkirkan. Dengan demikian
mujtahid menetapkan satu sifat saja sebagai ‘illat hukum, contoh dari kasus
seorang sahabat yang menggauli isterinya pada siang hari Ramadhan yang pernah
ditetapkan oleh Rasulullah.
e.
Tahqiqul manath (mengukuhkan sifat yang menjadi
sandaran hukum). Yaitu meneliti apakah sifat yang sudah diketahui
unsure-unsurnya itu terdapat dalan kasus-kasus yang sesuai dan tercakup dalam
keumuman pengertiannya . contoh sifat adil adalah syarat muutlak berhubungan
langsung dengan sahnya menjadi saksi, akan tetapi untuk mengetahui adil atau
tidaknya seseorang hanya dapat diketahui melalui pembuktian dalam ijtihad.
E.
ILLAT HUKUM DAN HIKMAH HUKUM
Para ulama ushul, baik klasik maupun kontemporer selalu
mengaitkan persoalan hukum dengan tujuan penetapannya. Ini disebabkan keyakinan
kuat umat Islam bahwa semua ketetapan hukum syara‘ pasti
mengandung tujuan mulia. Mustahil suatu ketetapan hukum yang
disyari‘atkan Syari‘ tidak mengandung tujuan.
Zaki al-Din Sya‘ban menyebutkan bahwa inti dari maqashid
al-syari‘ah itu ialah sesungguhnya Allah Swt tidak mensyari‘atkan
hukum-hukum-Nya kecuali untuk tujuan yang sifatnya menyeluruh dan tujuan
tersebut adalah untuk mewujudkan dan meraih manfaat (maslahat) bagi umat
manusia dan sekaligus menghindarkan mereka dari kerusakan serta membebaskan
dunia dari berbagai kejahatan dan dosa. Kemaslahatan di sini adalah menyangkut kemaslahatan yang
dihajatkan oleh manusia dalam segala aspek kehidupan mereka.
Untuk
memahami maqashid al-syari‘ah dengan menelusuri ayat-ayat
al-Qur`an dan al-Hadist Rasulullah bukanlah pekerjaan yang mudah. Para ulama
ushul, baik pada masa lalu maupun sekarang telah berupaya untuk menyelami maqashid
al-syari‘ah ini lewat ijtihad danistinbath hukum.
Hal ini semua tidak lain agar apa yang menjadi tujuan pensyari‘atan hukum dapat
direalisir dalam kehidupan umat.
Dalam prakteknya, ada sebagian ulama ushul yang
menjadikan hikmah sebagai illathukum. Artinya, jika suatu ketentuan
hukum tidak dapat dipahami dengan jelas apa yang melatarbelakangi
pensyari‘atannya, maka illat harus dilihat dari segi tujuan
penetapan atau pensyari‘atan hukum itu sendiri, yaitu hikmah dan
itulah yang menjadi illat-nya. Hal inilah yang ditegaskan
oleh Ibn al-Qayyim, sebagaimana dikutip oleh M. Hasbi Ashshiddiqy seperti
berikut ini:
ان الـشـريــعـة مـبنـاهـا وأسـاســهــا عـلى الـحـكـم ومـصالح
الـعـبـاد فى الـمـعـاش والـمـعـاد. إن الـلـه كان حـكـيـمـا لا يـفـعـل شيــئا
عـبـثـا ولا بـغـيـر مـعـنى ومـصلحـة هـي الـمقـصودة مـن الـفـعـ
“Sesungguhnya syari‘at pondasi dan dasar
pijakannya adalah hikmah dan kemaslahatan hamba (manusia) dalam kehidupan dunia
dan akherat. Sesungguhnya Allah Swt. adalah Hakim yang bijaksana; Dia
tidaklah berbuat sesuatu tanpa ada tujuan, dan tanpa mengandung makna dan
maslahat...”
Pensyari‘atan suatu hukum yang dilatarbelakangi
oleh ‘illat itu pasti mempunyai tujuan, yaitu mewujudkan
kemaslahatan bagi umat manusia. Dalam kenyataannya ada hubungan illatdan maqashid
al-syari‘ah yang menjadi tujuan pensyari‘atan hukum dapat dipahami
secara rasional dan ada pula yang tidak dapat dipahami secara rasional. Karena memang ada persoalan-persoalan tasyrî‘ yang
tidak dapat dijangkau oleh nalar manusia ‘illat dan hikmah
yang terkandung di dalamnya. Jika dihadapkan dengan hal-hal seperti demikian
maka ia termasuk wilayah ta‘abbudi.
Adapun hubungan illat dengan maqashid
syari’ah yang dapat dipahami secara rasional ialah bahwa sesuatu yang
menjadi ‘illat akan melahirkan nilai yang hendak dicapai dari
suatu ketetapan hukum di mana antara keduanya (illat dan nilai yang
hendak dicapai) dapat diketahui oleh akal pikiran. Sebagai contohnya adalah
berkenaan dengan larangan berbuat zina. Allah berfirman : ”Dan jangan kamu
dekati (lakukan) zina, karena sesungguhnya zina itu adalah kotor dan
seburuk-buruk jalan.” (QS. Al-Isra:32)
Larangan berbuat zina merupakan ketetapan hukum (haram).
Adapun illatnya adalah karena zina perbuatan kotor, keji dan
jalan/cara yang tidak baik (fahisyah wa sa`a sabila).Maqashid
al-syari‘ah-nya adalah menjaga keturunan dan ini merupakan maslahat dharuriyahyang
wajib dipelihara, sebab jika tidak demikian, tentu Allah tidak melarangnya.
Adapun contoh hubungan illat dengan maqashid
al-syari‘ah yang tidak dapat dipahami oleh akal atau nalar adalah
waktu shalat Zhuhur setelah tergelincirnya matahari.Dalam ayat disebutkan:
ÉOÏ%r& no4qn=¢Á9$# Ï8qä9à$Î! ħôJ¤±9$# 4n<Î) È,|¡xî È@ø©9$# tb#uäöè%ur Ìôfxÿø9$# ( ¨bÎ) tb#uäöè% Ìôfxÿø9$# c%x. #Yqåkô¶tB ÇÐÑÈ
Artinya :
“Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan
(dirikanlah pula shalat) subuh[865]. Sesungguhnya shalat subuh itu disaksikan
(oleh malaikat)”.
Karena tergelincir
matahari adalah ‘illat, sedang adanya kewajiban shalat
Zhuhur adalah hukum yang ditetapkan sebagai akibat dari teregelincirnya
matahari. Antara tergelincir matahari dan adanya ketetapan hukum berupa
kewajiban shalat Zhuhur (keduanya lebih merupakan hubungan “sebab-akibat” yang
sesungguhnya ‘illat-nya disebut dengan sebab). Dalam kasus
seperti ini hubungan ‘illat dengan hukum yang ditetapkan tidak
dapat dipahami dengan nalar, karena bentuknya hubungan sebab akibat. Dan sudah
barang tentu, juga hubungannya dengan maqashid al-syari‘ah tidak
dapat dipahami oleh nalar dan akal.
Realitas hukum Islam bersifat dinamis dan berkembang
sesuai dengan tuntutan perkembangan waktu dan tempat. Dengan kata lain,
perkembangan hukum Islam, di samping tuntutan masyarakat, juga tidak lepas dari
peran illat sebagai dasar yang melatarbelakangi tasyri‘ atau
pensyari‘atan hukum.
Dalam sejarah perkembangan hukum Islam, sejak awal hingga
sekarang, terlihat bahwa illat memegang peranan yang sangat
penting dalam pengembangan hukum Islam. Banyak ketentuan Fiqh yang mengalami
perubahan dan perkembangan. Perubahan
itu dapat dilihat dari dua segi yaitu:
1.
Pemahaman ‘illat
hukum itu sendiri yang berubah sesuai dengan perkembangan pemahaman terhadap
dalil nash yang menjadi landasannya. Perubahan pemahaman tentang‘illat ini
karena terjadinya perkembangan dan munculnya hal-hal baru dalam kehidupan umat
Islam. Sebagai contoh untuk ini, misalnya zakat hasil pertanian yang biasa
dipahami sebagai ‘illat-nya adalah makanan pokok yang disebut
dengan al-qut, dapat disimpan lama, dapat ditakar atau
ditimbang. Akan tetapi, sekarang dipopulerkan pendapat baru
bahwa ‘illat tersebut ialah apa yang disebut dengan al-nama` (produktif).
Jadi semua tanaman yang produktif wajib dikenakan zakatnya. Sebelumnya zakat
hasil pertanian itu hanya dikenakan kepada empat jenis hasil pertanian saja
yaitu syair, gandum, anggur dan kurma. Seperti dijelaskan dalam hadits:
“Dan
dari Abu Musa al-‘Asy’ari dan Muaz, semoga Allah meridhoi mereka berdua. Sesungguhnya
Nabi Saw. berkata kepada mereka berdua, janganlah kamu pungut zakat kecuali
terhadap empat jenis yaitu: syair, gandum, anggur dan kurma. (HR.
Thabrani dan al-Hakim)”.
Perubahan dan perkembangan
pemahaman ‘illat wajib zakat atas hasil pertanian ini
sesungguhnya lebih tepat dan lebih mencakup karena dapat menjangkau berbagai
jenis tanaman yang telah disebutkan oleh nash yang keberadaannya lebih
produktif, memiliki nilai ekonomis yang tinggi serta dapat mendatangkan
kekayaan.
Dalam hubungan ini, Ibrahim Husen
menyebutkan bahwa apa saja yang tumbuh di muka bumi dan bermanfaat dalam
menopang kehidupan manusia, seperti kelapa, buah pala, merica, lada, cengkeh,
kopi, tebu, bunga anggrek, kayu jati dan lain-lain wajib dikenakan zakat. Bagi
Ibrahim Husen, penetapan wajib zakat terhadap berbagai jenis tumbuhan di atas
adalah bertolak dari penetapan zakat atas empat jenis tumbuhan yang disebutkan
dalam hadist di atas, yang ‘illat-nya adalah karena ia bermanfaat
dalam menopang kehidupan. Dan ‘illat
ini dapat diterapkan atas semua jenis tanaman atau tumbuhan lainnya.
Oleh karena itu, setiap tanaman mengandung manfaat serta dapat
menopang kehidupan manusia dapat di-qiyâs-kan kepada empat jenis tanaman
yang hukumnya wajib dikeluarkan zakatnya.
Perubahan
dan perkembangan pemahaman ‘illat zakat hasil pertanian
terhadap empat jenis tanaman yang disebutkan dalam hadist di atas -dari al-qut (makanan
pokok) menjadial-nama` (produktif) sebagai dikemukakan oleh Alyasa
Abubakar atau bermanfaat seperti diungkapkan oleh Ibrahim Husin adalah didorong
oleh keinginan untuk menyesuaikan pemahaman ‘illat dengan
perkembangan baru. Sekiranya ‘illat zakat hasil pertanian
-bagi empat jenis tanaman yang disebutkan dalam hadist itu- tetap dipahami
seperti semula atau tidak diubah, maka ia tidak dapat menjangkau berbagai jenis
tanaman lainnya, yang keberadaannya juga tidak kalah pentingnya dalam kaitannya
dengan fungsinya untuk menopang kehidupan.
2.
Pemahaman terhadap ‘illat masih
tetap seperti sediakala, tetapi maksud tersebut akan tercapai lebih baik
sekiranya pemahaman atas hukum yang didasarkan padanya diubah. Contoh lainnya,
misalnya Umar tidak memberikan hak muallaf, sebagai salah satu
mustahiq zakat, sebagaimana disebutkan dalam surat al-Taubah ayat 60. Umar
beranggapan bahwa sifat muallaf tidak berlaku sepanjang hidup,
seperti halnya kemiskinan. Pemberian zakat kepada muallaf pada
awal Islam adalah karena Islam masih lemah. Di samping itu,
golongan muallaf ini imannya masih lemah dan mereka perlu
dibujuk hatinya agar tetap bertahan dengan keislamannya atau agar mereka
menahan diri dari melakukan tindakan kejahatan terhadap orang-orang Islam.
Dengan kata lain ‘illat pemberian zakat kepada
golongan muallaf ialah karena Islam dan iman mereka
masih lemah. Menurut Umar, Rasulullah memberikan bagian zakat
kepada muallaf adalah untuk memperkuat Islam. Ketika keadaan
telah berubah maka memberikan bagian itu tidak valid lagi. Dengan kata lain
ketika Islam telah kuat maka pemberian zakat kepada muallaf itu
tidak perlu lagi. Kebijakan Umar menghentikan pemberian zakat kepada muallaf itu
sesungguhnya berkaitan dengan perubahan pemahaman Umar tentang muallaf
itu sendiri. Menurut Umar bahwa pemberian zakat kepada muallaf itu
pada mulanya iman mereka masih lemah, tetapi sekarang karena kondisi Islam
telah kuat, maka pemberian zakat kepada muallaf tidak
dilaksanakan lagi.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1.
Pendapat
yang mengatakan bahwa qiyas tidaklah bersandarkan atas nash maupun hadist
tidaklah benar. Karena sesuatu yang diqiyaskan melihat kembali pada
permasalahan yang diselesaikan melalui nash.
2.
Qiyas
sangatlah penting dalam kehidupan sekarang ini, dilihat dari perkembangan
permasalahan ummat yang kian berkembang.
B.
Saran
Kami
menyadari sepenuhnya bahwa penyusunan makalah ini masih jauh dari sempurna dan
tidak menutup kemungkinan adanya kekurangan dan kesalahan di sana- sini. Karena
itu, kami mohon kritik dan saran dari pembaca demi kesempurnaan karya-karya
selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Al
Isnawiy, Nihayah as Suul
Al-Hadiy
al-Kirru, Ushul at-Tasyri’
Al-Hafidz, Ahsin W.. Fiqih Kesehatan. Jakarta: Amzah. 2007.
Ashshidieqi, M. Hasbi, Filsafat
Hukum Islam. Jakarta: Bulan Bintang. 1975.
Hakim, Syeh Abdul
hamid, Mabadiul Awaliyah.
Himayah,
Mahmud Ali. Ibn Hazm. ter. Halid Alkaf. Jakarta: Penerbit Lentera, 2001.
Ibn
Hazm, al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam. Beirut: Dar al-Afaq al-Jadidah,
tth.
Khallaf,
Abdul Wahhab. Ilmu Ushul Fiqh. Semarang : Dina Setia.
Zahrah, Muhammad Abu, Ushul
Fiqh. Jakarta : Pustaka Firdaus. 2007.
Komentar
Posting Komentar