MAKALAH “MAJELIS SYURA DAN AHLUL HALLI WAL’AQDI”
MAKALAH
“MAJELIS
SYURA DAN AHLUL HALLI WAL’AQDI”
D
I
S
U
S
U
N
OLEH :
Kelompok 2
1.
Cici Pramanda Putri
2.
Dwi Nursinta
3.
M. Debi Ifandi
4.
Sulis Setiawati
KELAS XII IPS 2
MADRASAH ALIYAH BAITULMAL PANCASILA
TAHUN AJARAN 2017 / 2018
KATA
PENGANTAR
Dengan memanjatkan puji
syukur kepada Allah SWT penulis dapat menyelesaikan tugas pembuatan makalah
yang berjudul “Majelis Syura dan Ahlul Halli Wal’Aqdi” dengan lancar.
Dalam pembuatan makalah
ini, penulis mendapat bantuan dari berbagai pihak, maka pada kesempatan ini
penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Guru Bidang Studi
dan tak lupa kedua orang tua serta teman-teman
yang telah memberikan bantuan materil maupun do’anya, sehingga pembuatan
makalah ini dapat terselesaikan. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan
satu persatu yang membantu pembuatan makalah ini.
Akhir kata semoga
makalah ini bisa bermanfaat bagi pembaca pada umumnya dan penulis pada
khususnya, penulis menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini masih jauh dari
sempurna untuk itu penulis menerima saran dan kritik yang bersifat membangun
demi perbaikan kearah kesempurnaan. Akhir kata penulis sampaikan terimakasih.
Melawi, Agustus 2017
Penyusun
Daftar
Isi
Kata
Pengantar..................................................................................................... i
Daftar
Isi.............................................................................................................. ii
BAB
I Pendahuluan
A. Latar
Belakang ........................................................................................ 1
B. Rumusan
Masalah .................................................................................... 1
C. Tujuan
Penulisan ...................................................................................... 1
BAB II Isi
A. Pengertian
Majelsi Syura .......................................................................... 2
B. Syarat-syarat
menjadi Majelis Syura ......................................................... 2
C. Hak
dan Kewajiban Majelis Syura ........................................................... 2
D. Syarat
Pengangkatan Pemimpin oleh Majelis Syura ................................... 3
E. Hikmah
adanya Majelis Syura .................................................................. 6
F. Pengertian
Ahlul Halli wal’Aqdi’ ............................................................... 6
G. Sifat-sifat
Ahlul Halli wal’Aqdi .................................................................. 7
H. Pendapat
Para Ahli .................................................................................. 7
I.
Syarat Kecakapan Ahlul Halli wal’Aqdi .................................................... 8
J. Tugas
dari Ahlul Halli wal’Aqdi ................................................................ 8
K. Peranan
dan Manfaat Ahlul Halli wal’Aqdi ................................................ 9
L. Menentunkan
atau Menetapkan Ahlul Halli wal’Aqdi ................................ 9
BAB III Penutup
A. Kesimpulan
.............................................................................................. 11
Daftar Pustaka ..................................................................................................... 12
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Hubungan
agama dan politik menjadi topik pembicaraan menarik, bukan hanya dari golongan
negara yang mayoritas masyarakat berpegang teguh pada agama tetapi juga yang
berfaham sekuler.Munculnya masalah tersebut dipandang wajar disebabkan karena
risalah islam yang dibawa Nabi Muhammad SAW adalah agama yang penuh dengan
ajaran dan undang-undang yang bertujuan membangun manusia guna memperoleh
kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.
Permasalahan
pertama yang dipersoalkan oleh generasi pertama umat islam sesudah Rasulullah
Wafat adalah masalah kekuasaan politik atau pengganti beliau. Maka dari itu
masalah ini akan diuraikan dan dikaji dalam makalah ini sehingga dapat menambah
wawasan para pembaca tentang keislaman. Khilafah dalam terminologi politik
Islam ialah sistem pemerintahan Islam yang meneruskan sistem pemerintahan Rasul
Saw. Dengan segala aspeknya yang berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah Rasul Saw.
B. Rumusan
Masalah
1.
Apa pengertian Majelis syura ?
2.
Apa saja syarat-syarat menjadi anggota
majelis syura ?
3.
Apa saja yang menjadi hak dan kewajiban
majelis syura /
4.
Bagaimana syarat untuk menjadi pemimpin
majelis syura?
5.
Apa saja hikmah adanya majelis syura ?
6.
Ahlul Halli wal aqdi
C. Tujuan
Penulisan
1.
Memahami pengertian fiqh siyasah (siyasah
syar’iyyah)
2.
Dapat mengetahui manfaat mempelajari
fiqh siyasah dan memahami istilah – istilah yang berhubungan dengan
pemerintahan islam.
3.
Menambah wawasan tentang sistem
pemerintahan islam.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Majelis Syura
Majelis Syura menurut bahasa artinya tempat musyawarah, sedangkan menurut
istilah adalah lembaga permusyawaratan rakyat. Atau dengan pengertian lembaga
permusyawaratan yakni badan yang ditugasi untuk memperjuangkan kepentingan
rakyat melalui musyawarah. Dengan demikian Majelis Syura ialah suatu badan negara yang bertugas memusyawarahkan
kepentingan rakyat. Di Indonesia dikenal dengan Mejelis Permusyawaratan Rakyat
(MPR).
Pada mula berdirinya, yakni pada zaman Rasulullah SAW dan
Khulafaur Rasyidin, musyawarah dilakukan di masjid atau di tempat yang mereka
kehendaki untuk bermusyawarah, tidak dalam bangunan tertentu, lembaga tertentu
dan tata tertib tertentu. Berbeda dengan zaman sekarang, manusia semakin banyak
jumlahnya, memiliki keinginan politik yang beragam, sehingga memerlukan suatu
lembaga resmi, tempat yang resmi dan tata tertib musyawarah atau sidang.
B.
Syarat-Syarat Menjadi
Anggota Majelis Syura
Para anggota majelis syura ialah orang-orang yang mempunyai
jabatan dan kedudukan penting di dalam negara. Oleh sebab itu, untuk dapat
diangkat menjadi anggota majelis syura haruslah orang-orang yang memenuhi
syarat-syarat sebagai berikut:
1.
Beriman dan bertaqwa
kepada Allah SWT.
2.
Dipilih langsung oleh
rakyat, sesuai dengan prinsip demokrasi.
3.
Memiliki ilmu pengetahuan
yang sesuai dengan bidang keahliannya.
4.
Berkepribadian tinggi
(adil, jujur dan bertanggung jawab).
5.
Berani dan teguh
pendirian.
6.
Ikhlas, dinamis, dan
kreatif.
7.
Peka dan penuh perhatian
terhadap kepentingan rakyat, tanpa membeda-bedakan suku, agama, ras, golongan
dan sebagainya.
C.
Hak dan Kewajiban Majelis
Syura
Majelis Syura, sebagaimana layaknya lembaga perwakilan
rakyat memiliki hak dan kewajiban, di antaranya sebagai berikut:
1.
Mengangkat dan
memberhentikan khalifah (kepala negara)
2.
Berperan sebagai
penghubung antara rakyat dengan khalifah, yaitu mengadakan musyawarah atau
rapat dengan khalifah langsung tentang berbagai hal yang berkenaan dengan
kepentingan rakyat.
3.
Membuat Undang-Undang
bersama khalifah untuk memantapkan pelaksaan hukum Allah SWT.
4.
Merumuskan dan menetapkan
program dan anggaran negara yang akan dilaksanakan oleh khalifah.
5.
Merumuskan gagasan demi
cepatnya pencapaian tujuan negara.
6.
Menetapkan anggaran
belanja negara.
7.
Selalu hadir dalam setiap
persidangan majelis syura.
D.
Syarat Pengangkatan
Pemimpin oleh Majelis Syura
Dalam Islam, menjadi pemimpin dan dipimpin adalah amanah
yang pasti akan diminta pertanggung jawabannya. Membangun pemerintahan yang
baik ini bukan hanya peran penguasa akan tetapi rakyat juga ikut menentukan
arah pemerintahan tersebut. Karena bagaimana mungkin suatu pemerintahan akan
berjalan dengan baik jika hanya pemimpinnya saja yang taat membangun sistem
sedangkan rakyatnya melawan sistem yang dibangun itu meskipun untuk kebaikan
mereka. Akan tetapi Islam melarang kita untuk taat kepada pemerintahan atau
pemimpin dan sistem yang memerintahkan kepada maksiat. Sebagaimana firman Allah
dalam surah An-Nisa ayat 58:
* ¨bÎ) ©!$# öNä.ããBù't br& (#rxsè? ÏM»uZ»tBF{$# #n<Î) $ygÎ=÷dr& #sÎ)ur OçFôJs3ym tû÷üt/ Ĩ$¨Z9$# br& (#qßJä3øtrB ÉAôyèø9$$Î/ 4 ¨bÎ) ©!$# $KÏèÏR /ä3ÝàÏèt ÿ¾ÏmÎ/ 3 ¨bÎ) ©!$# tb%x. $JèÏÿx #ZÅÁt/ ÇÎÑÈ
Artinya:
"Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang
berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara
manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi
pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu," (QS An-Nisa:58).
Berdasar surah An-Nisa ayat 58 diatas, ada 5 syarat yang
harus dilakukan oleh pemerintah maupun masyarakat untuk menghadirkan kepemimpinan yang sukses dan pemerintahan yang baik yaitu:
a.
Pemberian jabatan kepada
orang terbaik (ahlinya)
Memilih seorang pemimpin atau pemangku jabatan haruslah
orang-orang yang profesional. Jika memilih seseorang disebabkan karena adanya
hubungan kekerabatan, hubungan saudara, kesamaan madzab, hubungan darah,
sogokan materi, hubungan kebangsaan dan lain sebagainya padahal ada orang yang
lebih profesional dari mereka, maka hal tersebut merupakan bentuk pengkhianatan
terhadap Allah, Rasul-Nya dan orang-orang beriman.
b.
Membangun hukum yang adil
Berlaku adil merupakan perintah Allah. Keadilan
mencakup semua aspek kehidupan baik sosial, politik, budaya, ekonomi dan
sebagainya. Keadilan harus ditegakkan di dalam setiap aspek kehidupan, dari
mulai penegakan hukum baik pidana maupun perdata, pembagian harta seperti
ghanimah, zakat dan harta-harta negara lainnya yang harus disalurkan dengan
tepat dan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Karena itu Allah SWT memberikan balasan yang cukup besar
bagi pemimpin yang adil, Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW
bersabda: "Ada tujuh golongan yang akan mendapatkan naungan dari Allah di
hari kiamat nanti dimana tidak ada naungan kecuali naungannya." Dan salah
satu golongan dari ketujuh itu adalah pemimpin yang adil.
c.
Dukungan dan kepercayaan
dari masyarakat
Menciptakan kepemimpinan yang sukses bukan hanya tugas para
penguasa, masyarakat pun ikut berperan aktif dalam mewujudkan hal tersebut.
Islam sangat menyadari seorang pemimpin tidak akan mampu melakukan apapun tanpa
adanya dukungan dari masyarakatnya. Oleh karena itu, dalam Islam masyarakat
harus memberikan ketaatan dan kepercayaannya kepada pemerintah sehingga
menghadirkan pemerintah yang legitimate.
Karakter kepemimpinan dalam Islam adalah kepemimpinan
yang representatif. Mandat kepemimpinan dalam Islam tidak ditentukan oleh Allah
namun dipilih oleh umat. Selama seorang pemimpin tidak memerintahkan maksiat
kepada Allah SWT, maka masyarakat wajib taat dan percaya terhadap pemimpinnya
meskipun dia seorang pemimpin yang non muslim.
d.
Ketaatan tidak boleh
dalam kemaksiatan
Sering terjadi polemik ditengah-tengah masyarakat kita,
apakah masih ada kewajiban untuk mematuhi pemimpin yang mendurhakai Allah atau
tidak. Pemimpin yang dipilih secara langsung dan ditetapkan berdasarkan Undang-Undang
dipandang dapat memenuhi syarat kepemimpinan untuk melaksanakan amanat rakyat.
Apabila pemimpin tidak mengindahkan nasihat dan peringatan serta tetap
melakukan kemaksiatan dan kemungkaran, maka tidak ada lagi kewajiban untuk
mematuhi perintahnya.
e.
Kontitusi yang
berlandaskan Al-Quran dan Sunnah
Salah satu cara untuk menghadirkan kepemimpinan yang sukses
dan baik adalah jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka
kembalikanlah ia kepada kepada Allah (Al-Quran) dan Rasul (sunnahnya). Artinya Al-Quran
dan sunnah harus menjadi rujukan dalam setiap penyelesaian masalah yang terjadi
didalam negara.
Syaikhul Islam Ibnu Thaimiyyah mengatakan tugas utama negara
ada dua, yakni menegakkan syariat dan menciptakan sarana untuk menggapai tujuan
tersebut. Negara harus menjadi kepanjangan tangan Allah SWT untuk melaksanakan
perintah dan menjauhi larangan-Nya di muka bumi. Ada beberapa alasan penting
yang membuat negara dan pemerintahan memiliki keududkan yang vital dalam Islam
berdasarkan Al-Quran dan sunnah diantaranya:
1)
Al-Quran dan sunnah
memiliki seperangkat hukum dan pelaksaannya membutuhkan institusi negara dan
pemerintahan.
2)
Al-Quran dan sunnah
meletakkan landasan yang kokoh baik dalam aspek akidah, syariah dan akhlak yang
berfungsi sebagai bingkai dan menjadi jalan hidup kaum muslimin. Pelaksanaan
dan pengawasan ketiga aspek tersebut tidak membutuhkan intervensi dan peran
negara.
3)
Adanya ucapan dan
perbuatan Rasulullah SAW yang dipandang sebagai bentuk pelaksanaan tugas-tugas
negara dan kepemerintahan. Rasulullah SAW mengangkat gubernur, hakim, panglima
perang, mengirim pasukan, menarik zakat dan pajak (fiskal), mengatur
pembelanjaan dan keuangan negara (moneter) menegakkan hudud, mengirim duta, dan
melakukan perjanjian dengan negara lain.
E.
Hikmah Adanya Majelis
Syura
a.
Melaksanakan perintah
Allah dan mencontoh perbuatan Rasulullah SAW tentang musyawarah untuk
menyelesaikan perosalan hidup dan kehidupan umat Islam.
b.
Melahirkan keputusan dan
ketetapan yang baik dan bijaksana karena keputusan tersebut ditetapkan oleh
banyak pihak.
c.
Melahirkan tanggungjawab
bersama terhadap keputusan yang ditetapkan karena keputusan tersebut ditetapkan
oleh wakil-wakil rakyat yang dipilih sesuai dengan kemampuan dan
tanggungjawabnya.
d.
Mengurangi bahkan
menghilangkan keluh resah yang mengakibatkan penyelewengan sebagai akibat dari
keputusan yang tidak atau kurang representatif.
e.
Memilih pemimpin yang
terbaik dan disetujui semua pihak karena itu kualitasnya akan lebih dapat
dipertanggungjawabkan.
f.
Menghindari perselisihan
antar golongan yang dapat mengakibatkan kehancuran dan kerugian negara.
g.
Mewujudkan keadilan
karena keputusan hasil musyawarah telah disetujui oleh semua pihak maka
hasilnya bersifat adil untuk semua pihak.
h.
Menciptakan persatuan dan
kesatuan karena hasil musyawarah biasanya merupakan jalan tengah yang memiliki
daya tarik semua pihak. Jadi hasilnya dapat mengikat semua pihak.
i.
Menjalin hubungan
harmonis antara manusia dengan Tuhannya dan hubungan sesama umat manusia,
khususnya umat Islam.
j.
Menciptakan kerukunan dan
ketahanan umat sehingga dapat menangkal berbagai rongrongan dan ancaman
terhadap negara dan pemerintah.
F.
Arti Ahlul Halli wal
‘Aqdi.
Sekelompok orang yang memilih imam atau kepala negara
sesekali dinamkan ahlul halli wal ‘aqdi, sesekali ahlul ijtihad dan sesekali
ahlul ikhtiyar. Ahlul al-halli wa al-‘aqd ( baca Ahlul Halli wal ‘aqdi )
diartikan dengan “orang-orang yang mempunyai wewenang untuk melonggarkan dan
mengikat”. Istilah ini dirumuskan oleh ulama fiqih untuk sebutan bagi
orang-orang yang berhak sebagai wakil umat untuk menyuarakan hati nurani
mereka.
Tafsir Al-Manar menyatakan bahwa Ulil Amri itu adalah Ahlul
Halli wal ‘Aqdi yaitu orang-orang yang mendapat kepercayaan umat.
G.
Sifat-sifat Ahlul Halli
wal ‘Aqdi.
Sifat-sifat Ahlul Halli wal ‘Aqdi menurut elaborasi fiqih
dapat ditetapkan pada tiga golongan :
1.
Faqih yang mampu
menemukan penyelesaian terhadap masalah-masalah yang muncul dengan memakai
metode ijtihad.
2.
Orang yang berpengalaman
dalam urusan-urusan rakyat.
3.
Orang yang melaksanakan
kepemimpinan sebagai kepala keluarga, suku, atau golongan.
H.
Pendapat Beberapa Para
Ahli.
1.
An-Nawawi dalam Al-Minhaj
Ahl Halli waal ‘Aqd adalah para ulama, para kepala, para pemuka masyarakat
sebagai unsur-unsur masyarakat yang berusaha mewujudkan kemaslahatan rakyat.
2.
Muhammad Abduh menyamakan
ahl al-hall wa al’aqd dengan ulil amri yang disebut dalam Al-Qur’an surat al-Nisa
ayat 59 yang menyatakan : “Hai orang-orang yang beriman taatilah Allah, dan
taatilah Rasul ( Nya ) dan ulil amri di antara kamu”. Ia menafsirkan ulil
amri atau ahl al-hall wa al-‘aqd sebagai kumpulan orang dari berbagai profesi
dan keahlian yang ada dalam masyarakat. Abduh menyatakan yang dimaksud dengan
ulil amri adalah “Golongan ahl al-hall wa al-‘aqd dari kalangan orang-orang
muslim. Mereka itu adalah para amir, para hakim, para ulama, para militer, dan
semua penguasa dan pemimpin yang dijadikan rujukan oleh umat dalam masalah
kebutuhan dan kemaslahatan publik” lebih lanjut ia menjelaskan apabila mereka
sepakat atas suatau urusan stau hukum maka umat wajib mentaatinya dengan syarat
mereka itu adalah orang-orang muslim dan tidak melanggar perintah Allah dan
Sunnah Rasul yang mutawatir.
3.
Rasyid Ridha juga
berpendapat ulil amri adalah al-hall wa al-‘aqd. Ia menyatakan “kumpulan ulil
amri dan mereka yang disebut ahl al-hall wa al-‘aqd adalah mereka yang mendapat
kepercayaan dari umat yang terdiri dari para ulama, para pemimpin militer, para
pemimpin pekerja untuk kemaslahatan publik seperti pedagang, tukang, petani,
para pemimpin perusahaan, para pemimpin partai politik dan para tokoh
wartawan”. Al-Razi juga menyamakan pengertian antara ahl al-hall wa al-‘aqd dan
ulil amri yaitu para pemimpin dan penguasa.
5.
Al-Mawardi merumuskan
beberapa syarat, yaitu berlaku adil dalam segala sikap dan tindakan, berilmu
pengetahuan dan memiliki wawasan dan kearifan.
I.
Syarat Kecakapan Ahlul
Halli Wal ‘Aqd.
Al-Qadhi Aby Ya’la telah menetapkan beberapa syarat
kecakapan bagi ahlul halli wal ‘aqd :
1.
Syarat moral ( akhlak )
yaitu keadilan. Ia merupakan derajat keistiqamahan yang menjadikan pemiliknya
sebagai orang yang dapat dipercaya dalam hal amanah dan kejujurannya.
2.
Ilmu yang dapat
mengantarkannya mengetahui dengan baik orang yang pantas menduduki jabatan
imamah. Baik ilmu teoritis, kebudayaan, wawasan dan khususnya wawasan kefiqihan
perundang-undangan.
3.
Lebih dekat kepada
persyaratan pengetahuan politik dan kemasyarakatan.
4.
Ahlul Halli wal ‘aqdi
bisa terdiri dari ulama, panglima perang dan para pemimpin kemaslahatan umum.
Seperti pemimpin perdagangan, perindustrian, pertanian. Termasuk juga para
pemimpin buruh, partai, para pemimpin redaksi surat kabar yang islami dan para
pelopor kemerdekaan.
J.
Tugas Dari Ahlul Halli
Wal ‘Aqdi.
Tugas dari ahlul halli wal ‘aqdi antara lain memilih
khalifah, imam, kepala negara secara langsung. Karena itu ahlul halli wal ‘aqdi
juga disebut oleh Al-Mawardi sebagai ahl al-ikhtiyar (golongan yang berhak
memilih). Peranan golongan ini sangat penting untuk memilih salah seorang di
antara ahl al-imamah (golongan yang berhak dipilih) untuk menjadi khalifah.
Ahlul halli wal ‘aqdi ialah orang-orang yang berkecimpung langsung dengan
rakyat yang telah memberi kepercayaan kepada mereka. Mereka menyetujui pendapat
wakil-wakil itu karena ikhlas, konsekwen, takwa, adil, dan kecermelangan
pikiran serta kegigihan mereka di dalam memperjuangkan kepentingan rakyatnya.
Di samping punya hak pilih, menurut Ridha adalah menjatuhkan
khalifah jika terdapat hal-hal yang mengharuskan pemecatannya. Al-Mawardi juga
berpendapat jika kepala negara melakukan tindakan yang bertentangan dengan
agama, rakyat dan ahl al-hall wa al-‘aqd berhak untuk menyampaikan “mosi tidak
percaya” kepadanya.
Sejauh ini belum ditemui penjelasan tentang hak-hak lain ahl
al-hall wa al-‘aqd seperti pembatasan kekuasaan khilafah, mekanisme pembentukan
lembaga itu, hak kontrol dan sebagainya. Apalagi ahl al-hall wa al-‘aqd,
sekalipun mereka mewakili rakyat, menurut Rasyid Ridha, tidak identik dengan
parlemen di zaman modern yang memiliki kekuasaan legislatif dan berhak
membatasi kekuasaan kepala negara melalui undang-undang. Sementara khalifah
adalah kepala negara yang memegang kekuasaan legislatif, eksekutif dan
yudikatif.
K.
Peranan Dan Manfaat Ahlul
Halli Wal ‘Aqdi.
Peranan ahlul halli wal ‘aqdi di indonesia dari segi
fungsionalnya, sama seperti Majelis Permusyawaratan Rakyat ( MPR ) yaitu
sebagai lembaga tertinggi negara dan perwakilan yang personal-personalnya
merupakan wakil-wakil rakyat yang dipilih oleh rakyat dalam pemilu dan salah
satu tugasnya ialah memilih presiden ( sebagai kepala negara dan kepala
pemerintahan ). Namun dalam beberapa segi lain antara ahlul halli wal ‘aqdi dan
MPR tidak identik. Manfaat dari ahlul halli wal ‘aqdi sangatlah penting yaitu
untuk menjaga keamana dan pertahanan serta urusan lain yang berkaitan dengan
kemaslahatan umum.
L.
Menentukan Atau
Menetapkan Ahlul Halli Wal ‘Aqdi.
Para fuqaha tidak menyebutkan cara untuk menentukan atau
menetapkan mereka itu. Sekalipun mereka menyebutkan beberapa masalah yang
berkaitan dengan tema ini. Di antaranya adalah mereka ( ahlul halli wal ‘aqdi )
tidak diisyaratkan berasal dari penduduk yang senegeri dengan sang imam, yaitu
penduduk ibu kota. Karena tak ada maksud untuk mengistimewakan. Sekalipun
praktiknya mereka lebih dahulu dari yang lain, mengetahui kematian sang kepala
negara. Dan karena pada umumnya orang yang layak menduduki kekhalifahan ada di
negeri ( ibu kota ) mereka.
Al-Qadhi Abu Ya’la di dalam kitab Al-Ahkam as-Sulthaniyyah
membahas masalah lain yang penting, yaitu : “Apakah boleh bagi seorang khalifah
mengangkat ahlu ikhtiyar sebagaimana ia mengangkat ahlu ‘aqd ( para pengganti )
?” Jawabnya adalah : ada yang berpendapat boleh, karena ia merupakan di antara
hak-hak kekhalifahannya. Sedangkan qiyas madzhab kita berpendapat tidak boleh.”
Pendapat Al-Qadhi Abu Ya’la yang mengatakan bahwa tidaklah
diperkenankan bagi khalifah menentukan ( mengangkat ) orang-orang yang akan
memilih khalifah sesudahnya adalah pendapat yang benar. Ia sesuai dengan maksud
si pembuat syari’at. Ia hendak membiarkan mayoritas ahlu ar-ra’yi memilih sang
imam, kepala negara. Jika khalifah memutuskan memilih dan menentukan mereka,
maka seketika itu ia berarti bertindak sesuka hati di dalam memilih orang yang
akan menggantikannya secara tidak langsung.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Karena itu
dalam ketatanegaraan Islam semangat musyawarah antara majelissyurodan lembaga
kekhalifahan merupakan dorongan dan tenaga bagi lajunya roda pemerintahan
Khilafah Islamiyah yang didasarkan kepada aqidah Islam
Jadi dalam ketatanegaraan Islam,
konsep Check and Balances antara majelis
syuro dan lembaga kekhalifahan adalah dengan melihat apakah khalifah masih
tetap berada di garis yang telah ditetapkan dalam Al Qur’an dan As-Sunnah
atau sudah keluar. Dan majelis syuro tidak mempunyai hak Impeachment, karena
jatuhnya khalifah bukan karena adanya tuntutan dan tuduhan dari majelis
syuro, melainkan kalau terbukti secara hukum khalifah telah menyeleweng dari
garis yang telah ditetapkan dalam Al Qur’an dan As-Sunnah.
syuro dan lembaga kekhalifahan adalah dengan melihat apakah khalifah masih
tetap berada di garis yang telah ditetapkan dalam Al Qur’an dan As-Sunnah
atau sudah keluar. Dan majelis syuro tidak mempunyai hak Impeachment, karena
jatuhnya khalifah bukan karena adanya tuntutan dan tuduhan dari majelis
syuro, melainkan kalau terbukti secara hukum khalifah telah menyeleweng dari
garis yang telah ditetapkan dalam Al Qur’an dan As-Sunnah.
Sekelompok orang yang memilih imam atau
kepala negara dinamakan Ahlul Halli wal ‘Aqdi. · Sifat-sifat Ahlul Halli wal
‘aqdi, yaitu :
1.
Faqih yang mampu
menemukan penyelesaian terhadap masalah-masalah yang muncul dengan memakai
metode ijtihad.
2.
Orang yang berpengalaman
dalam urusan-urusan rakyat.
3.
Orang yang melaksanakan
kepemimpinan sebagai kepala keluarga, suku, atau golongan.
Syarat
kecakapan bagi ahlul halli wal ‘aqd, yaitu :
1.
Syarat moral ( akhlak )
yaitu keadilan.
2.
Ilmu yang dapat
mengantarkannya mengetahui dengan baik orang yang pantas menduduki jabatan
imamah.
3.
Lebih dekat kepada
persyaratan pengetahuan politik dan kemasyarakatan.
Tugas
dari Ahlul Halli wal ‘Aqd, yaitu :
1.
Memilih khalifah, imam,
kepala negara secara langsung.
2.
Menjatuhkan khalifah jika
terdapat hal-hal yang mengharuskan pemecatannya.
Manfaat dari Ahlul Halli wal ‘Aqdi yaitu untuk menjaga
keamanan dan pertahanan serta urusan lain yang berkaitan dengan kemaslahatan
umum.
Cara menetapkan ahlu halli wal ‘aqdi adalah suatu perkara
yang diserahkan kepada kebijaksanaan setiap masa-masa dan negeri.
DAFTAR PUSTAKA
Sistem Pemerintahan dalam
persepektif Islam, Prof. Muhammad
Al-Mubarak.
Fiqih Siyasah, Sejarah dan Pemikiran, Dr. j. Suyuthi Pulungan M.A, Raja Grafindo Persada,
Jakarta : 1994.
Masalah-masalah Teori
Politik Islam, Mumtaz ahmad ( ED ).
Teori Pemerintahan Islam
menurut Ibnu aimiyah, Khalid Ibrahim Jindan.
Tafsir Al-Mizan, Syamsuri Rifaa’i, Agustus, 1991 mengupas ayat-ayat
kepemimpinan.
Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir
Al-Manar.
Tafsir Fakhr al-Razi,
Jilid V, Muhammad Al-Razi Fakhr al-Din bin
Dhiya al-Din Umar.
Tafsir al-Maraghi Jilid V, Ahmad Mushthafa al-Maraghi.
Komentar
Posting Komentar